YAI KA’ MENAMPIK JAYA SUPRANA

Kalau boleh disebut misteri, lajang adalah misteri Yai Ka’ yang gurih menjadi perbincangan. Bolehlah, diraba-raba apa gerangan argumen beliau dan dipengarui oleh siapa. Bisalah, dimaknai kecintaan kepada ilmu, full mendidik santri dan khidmat dua puluh empat karat kepada pesantren Tebuireng. Itulah sebabnya ada yang menebar saran, agaknya yang paling etik dan elok serta “ikhtiyath” : ya, sebut saja “sir Yai Ka'”. Kendati, tak mengapa mencari tahu duduk perkaranya. Sebagai teladan santri dan “buku terbuka”, dengan menyingkap tabir profilnya berharap ada uswah hasanah yang menyebul.

Sepanjang yang saya tahu dan informasi yang saya dapatkan, tak pernah sekalipun beliau membuka kotak pandora jatidiri beliau mengenai yang satu itu. Apalagi, Yai Ka’ memiliki tipologi yang tak menyukai membuka lakunya. Sehingga apakah lajang itu pilihan yang disangga nalar syar’i atau menyelinap ada motif lain yang disimpan rapat. Rasanya, sia sia mencari tahu, mengais informasi dan merakit dari berbagai bagai informan apa argumen yang sesungguhnya dari beliau.

Dus, lajang merupakan wilayah eksklusif, privat dan khushushiyah pribadi Yai Ka’. Nah, sekiranya Jaya Suprana selaku bos jamu jago dan sekaligus kreator musium MURI merengek rengek dan bersimpuh di hadapan Yai Ka’–dengan mengandalkan kelirumologi-nya sekalipun–beliau menampik diajak “prestasi lajang dan juga sebagai santri abadi” masuk sebagai koleksi MURI. Karena, Yai Ka’ tak butuh puja puji dan dianugerahi gelar dunyawiyah ini dan itu. Apalagi, sekedar larut dalam tari- menarik gebyar MURI. “Ojok dadi wong sing seneng dipuji. Pujian iku dadekno “yu’mi wa yusham” alias dadekno wuto lan tuli”, tutur Yai Ka’.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online