BERPOSISI SEBAGAI “HARITS AL-TURATS”

Tesa, antitesa dan sintesa yang berlangsung dalam perkembangan Islam merupakan hal yang biasa. Adanya konstruksi, dekonstruksi san rekonstruksi yang berlaku dalam kebudayaan dan peradaban Islam-pun menjadi dinamika yang lumrah. Tak terkecuali, bisa dimengerti munculnya sikap pro dan kontra pembaruan pemikiran Islam.

Jika sebelum ini menyeuak diskursus pembaruan, modernisnisme, post modernisme dan liberalisme pemikiran Islam. Belakangan, menggeliat kritik dan reskonstruksi turats yang dipungut dari pemikiran kritis dari Hassan Hanafi, al-Jabiri, Aisyah Abdurrahman, Muhammad Imarah. Riuh diskusi dan laris bukan main terjemahan kitab seperti Al-Turats wa al-Tajdid, Al-Turats wal sl-Hadatsah : Dirasat wa Munaqasah, Nahnu wa al-Turats : Qiraat Mu’shirah fi al-Turatsina al-Falsafi, Turatsuna al-Madhi wa al-Hadhir, Nadzarat al-Jadidah ila al-Turats, Al-Turats wa al-Tajdid : Muwafiquna min al-Turats al-Qadim, Naqdh al-‘Aql ak-‘Arabi.

Kendati di kalangan pesantren pemikiran kritis yang menghentak itu tak begitu populer, hanya muncul respon sambil lalu dari sebagian kecil elite-nya, namun yang hendak dipinjam di sini istilah Turats itu. Turats, taruklah yang dimaknai sebagai produk khazanah kebudayaan dan peradaban Islam di masa lalu. Lebih khusus lagi, di mana posisi Yai Ka’ dalam kaitannya dengan “al-qadim al-shalih” buah dari pemikiran al-salaf al-shalih ? Seolah-olah, bila dicermati dari kegandrungan, maraji’ dan hobi membaca kitab bermuatan tertentu yang dilakukan Yai Ka’.

Rasanya sulit menampik kesan untuk tidak mengatakan, beliau berdiri di atas keyakinannya, dengan kesadarannya memilih berposisi selaku “pengawal Turats” atau “Haris al-Turats”. Meski, tak pernah masuk dalam respon yang bertautan dengan diskursus pemikiran yang beraroma pembaruan pemikiran Islam, Yai Ka’ tak terpelanting ke dalam arus pro dan kontra. Bagi Yai Ka’, cukuplah dirinya berposisi sebagai penjaga Turats.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beliau menganggap penting mengambil peran “al-muhafadzah ala al-qadim al-shaleh”, tanpa mencibir dan mengusik jika ada yang adreng dengan pilihan lebih kepada greget pembaruan pemikiran Islam atau “al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Sungguh, betapa eloknya peran yang dipilih Yai Ka’ dan dilakukannya dalam rentang waktu 62 tahun di pesantren Tebuireng.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)