HARTA, JABATAN DAN GELAR

DI tengah lingkungan yang sibuk berwirid materi, Yai Ka’ tak turut larut mewiridkannya. Padahal nyaris di semua ruas irisan sosial, hiruk pikuk mengejar dan berebut saling memperbanyak materi. Bahkan, tak jarang dipergoki ketak pedulian soal cara bagaimana materi itu diperoleh. Entah halal, haram atau syubhat, tak lagi menjadi kalkulasi. Yang dianggap afdhal, memperbanyak pundi pundi, menebalkan kocek dan menggendutkan rekening. Namun sikap Yai Ka’ tak ubahnya syair sufistik Imam Syafi’i :

توكلت فی رزقی علی الله خالقی
وايقنت ان الله لاشك رازقی
ومايك من رزقی فليس يفوتنی
ولوكان في قاع البحارالعوامق
سياءتی به الله العظیم بفضله
ولو لم يكن منی اللسان بناطق
ففی اي شيء تذهب النفس حسرة
وقدقسم الله رزق الخلاءق

Aku mengandalkan Dia dalam rizki
Kuyakini hanya Allah yang menberi
Yang jadi bagianku takkan terlepas
Kendati di tengah lautan yang luas
Anugerah Tuhan kan datang kepadaku
Kendati tak pernah mengucap lisanku
Tubuh ini tak perlu dibuat duka
Tuhan telah membagi pada makhluk-Nya

Jabatan ? Senyap dalam kamus hidup Yai Ka’. Apalagi, mengusulkan diri dan meminta posisi dan itu. Sementara, beliau tahu dan mendengar praktek saling adu strategi dan sikut sana sini untuk berebut menaikkan jabatan sendiri. Tak jarang pula, jabatan itu buah dari mencuri, merampok dan mendzolimi. Kecuali, jika amanah telah diberikan kepadanya, Yai Ka’ tak menampiknya, meski sekedar sebagai Pembina Osis. Qana’ah beliau seperti syair yang disenandungkan begitu indah oleh Imam Syai’i :

رايت القناعة راس الغنی
فصرت باديالها متمسك
فلاذايرانی علی بابه
ولاذا یرانی به منهمك
فصرت غنیا بلادرم
امر علی الناس شبه ااملك

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Qana’ah kuyakini, modal menjadi kaya
Maka aku berpegang, dengan kuat talinya
Seseorang tak akan, melihatku meminta
Dan juga takkan pernah, dekat-dekat si kaya
Kaya aku jadinya, kendati tanpa harta
Aku bisa berlenggang, bagai seorang raja

Gelar ? Tak penting bagi Yai Ka’ gelar sosial, gelar akademik, bahkan gelar kiai itu sekalipun. Mahkota berupa gelar gelar yang disematkan manusia itu nisbi, subyektif dan relatif. Menurut beliau, penganugerahan dari dan versi “gelar Allah” yang mestinya diperebutkan. Gelar inilah yang berbalas kebahagiaan hidup didunia dan surgaNya. Sebagaimana imam Syafi’i bersyair :

المرء يحظی ثم يعلو ذكره
حتی يزین بالذي لم یفعل
وتری الشقی اذا تكامل غبه
يشقی وبنحل بالذي لم يفعل

Sering orang muncul capai kemasyhuran
Disanjung dengan yang tidak dikerjakan
Kau lihat si pecundang kala beraksi
Kan celaka, tak kerja ia dipuji

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)