YAI KA’ DAN “SOCIAL DIGNITY”
Menurut Yai Ka’, “Kepingin opo wae, yo kuncine ilmu. Mek ilmune kenek, melok kabeh. Mulane, ojok setengah setengah golek ilmu iku”. Rupanya, beliau begitu meyakini diktumNya dan sabda Nabi. Bisa dimengerti bila Yai Ka’ di antara pecinta ilmu yang baik. Tak perlu tolah toleh, fokus dan menempuh “long life education”.
Entah, sudah berapa meter kitab kuning sudah dibacanya. Berapa jumlah karya karya ulama besar dipantengi dan ditelaah dengan lahapnya. Seperti bagaimana potret pergumulan keilmuan empat imam madzhab yang diilustrasikan dengan baik sekali oleh Abdul Aziz al-Sinawi dalam “Al-Aimmah al-Arba’ah : Hayatuhum Mawaqifuhum Ara’uhum”. Cukuplah, empat imam madzhab itu “khusu'” dengan dunia keilmuannya. Justru kealiman mereka yang memantik dan menjadi magnet datangnya status sosial, martabat dan kehormatan. Berbagai jabatan memburu empat imam madzhab, bukan sebaliknya.
Dalam konteks sekarang, tak perlu santri dari pintu ke pintu menjajakan ijazah sarjananya. Berkeringat, melelahkan dan tak jarang mesti merogoh kocek untuk melakukah risywah. Menurut Ya Ka’, melamar, mengemis, merengek rengek dan berburu martabat sosial itu tak perlu terjadi bila menjadi santri yang tak tanggung dalam thalab al-‘ilm. Bila meraih predikat ak-‘alim, tak cuma dunyawiyah yang mendekat, yang akhiratpun turut pula mendekat. Bahkan, memang itu garansi Allah dan Nabi. Dan, Yai Ka’ membuktikannya. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)