YAI KA’ : PROFESI SAMPEYAN NOPO ?

Sekiranya ada santri Yai Ka’ yang usil dan nakal–meski tentu santri Tebuireng tak bakalan berani melontarkannya dan ini sekedar berandai andai–rasanya Yai Ka’ meresponnya dengan senyumannya yang anggun. Atau bila suatu saat, katakanlah ada seseorang di sampingnya ketika dalam obrolan meluncur pertanyaan ini kepada Yai Ka’, “ngapunten, ngasto ten pundi pak ?”.

Apa gerangan kira kira jawaban Yai Ka’, rasanya ya cuma melempar senyum. Dan, tentu yang bertanya mafhum dan tak meneruskan mengejar dengan pertayaan lainnya, karena menangkap yang ditanyai tak ingin “berbangga ria” dengan profesinya.

Balutan karakter ikhlas dan mengabdi itu begitu kuat membalut perilaku Yai Ka’, makanya jangan coba coba masuk berbincang materi yang mengusik ketak ikhlasan beliau, pasti dihalau atau ditampiknya lewat senjata senyumnya. Lagi pula, menyebut nyebut profesi itu wilayah administrasi dan kepentingan. Pun, menyoal profesi memantik arogansi, meninggikan ananiyah dan menyembul nada meremehkan orang lain. Ada aroma yang pekat dari berbangga bangga dengan menyebut profesi ini dan itu. Nah, mana mungkin yang seperti itu masuk dalam kamus pribadi Yai Ka’.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bahkan jika dirasa-rasa, diskursus profesionalisme menyekat nyekat kemanusiaan yang tak lagi egaliter, memupuk pembeda bedaan antara yang satu dengan lainnya. Ada profesi yang dipandang berkasta tinggi dan dipuja puja seringgi langit, selain ada yang berkasta rendahan yang dilecehkan.

Yai Ka’ itu basah kuyup dengan laku sufistik, “dalam pandangan Allah, ketaqwaan yang memulyakan seseorang”. Nah, soal profesi jangan ditanyakan kepada Yai Ka’, walau untuk secara sederhana menyebut apa yang dikerjakan beliau, bolehlah menulisnya : muthalaah kitab dan mendidik santri. Lho, emangnya membaca kitab itu kerja ?

Saya punya pengalaman menarik bersama Prof Dr Martin van Bruinessen, Profesor Emiritus Studi Perbandingan Masyarakat Muslim Kontemporer pada Utrecht University dan salah kepala pada The International Institute for The Study of Islam in The Midern World (ISIM), “Cholidy, kalau tidak ada yang terlalu penting, kamu punya waktu lima menit saja ngobrol dengan saya. Karena saya mau kerja”, ujar prof Martin yang saya dua tahun pernah menjadi asistennya. Apa yang dikatakan “kerja” oleh prof Martin itu–saya sempat melongoknya–ternyata membaca buku. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)