TAK HENDAK MEMITOSKAN YAI KA’

Suatu saat Yai Ka’ dalam bermain sepakbola di lapangan Jatirejo PG Tjoekir mesti bodycharge atau benturan fisik dan “garesan” dengan Shodiq yang asli Betawi. Tentu, bukan kesengajaan, namun tiba tiba itu terjadi dan Yai Ka’ terjatuh. Marahkah Ya Ka’ ? Tidak. Malah beliau tertawa dan langsung bangkit mengejar bola yang ada di kaki Shodig. Memang, dalam setiap bermain sepakbola, Yai Ka’ justru tak tampak minta diistimewan. Biasa dan alami saja. Mengejar bola, sprint dan terkadang mesti bertabrakan. Walau, teman teman tahu diri dan sangat menghormati beliau. Ada pandangan yang menarik, bila kita ingin mengetahui apakah seseorang memiliki sikap egaliter, indikatornya adalah menyukai bermain sepakbola atau tidak. Jika jawabnya ya, dialah sang egaliter itu. Karena semua tahu, sepakbola merupakan permainan yang tak mengenal pengistimewaan kepada seseorang. Semua pemain diperlakukan sama, tak mengenal asal muasal, kasta dan dari irisan sosial mana berasal. Memilih berhobi sepakbola, tentulah seoenuhnya menyadari bahwa bermain si kulit bundar merupakan simbol egalitarianisme. Nah, Yai Ka’ saja tak suka “di-isim tafdhilkan” dan diberi kekhususan. Apalagi, dimitoskan, pastilah beliau menampiknya. Itulah, 6 tahun pula bermain bola bersama Yai Ka’ menyimpan banyak sekali memori. Tak sekedar beliau bersungguh sungguh dan begitu bersemangat, bahkan saat hujan begitu derasnya, beliau tak menghentikan permainan. Termasuk mengenang Yai Ka’ lewat tulisan ini, tak hendak memitoskannya. Namun semata mata, ibarat membaca buku, lembar demi lembar dari “Buku Yai Ka'” sangat menarik untuk membaca dan meneladaninya. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online