YAI KA’ ITU “MU’TAZILAH” ?
“Sssst … iku Yai Ka’ dek pojok”, kata ustadz Marsam. Setelah mengendap endap di tengah tengah kerumunan penikmat wayang kulit yang menyesaki ruas rel lori tebu PG Tjoekir dan menyapu semua pandangan, ternyata setelah cukup menyita energi memergoki juga sosok yang menyendiri mengapresiasi narasi ki dalang. Sengaja, dari Tabuireng ingin mengetahui di mana dan bagaimana Yai Ka’ menikmati pertunjungan wayang kulit yang setiap tahunnya dihelat PG Tjoekir jelang musim giling. Inilah bagian tradisi Nayub atau Tayuban, tradisi pesta tahunan yang dutunggu tunggu masyarakat, tak terkecuali kalangan santri. Jadi, pesta tayuban di Tjoekir ini berbeda dengan tayuban yang merupakan kesenian tradisional yang kondang di Jateng dan Jatim. Yai Ka’, termasuk pula yang larut dalam kegembiran datangnya tayuban, wabil khusus pagelaran wayang kulitnya. Nah, jika Yai Ka’ sudah mengelegak fokusnya, khusu’-nya dan tekadnya memberikan perhatian kepada hobinya dan kegemarannya, maka muncul karakter “suka menyendiri” beliau dan tak boleh diganggu oleh siapapun. Tak jarang, terlihat menyendiri saat di warung H Faqih, Pak Syahri dan soto depan bioskop Jombang. Dari sinilah–tentu bukan dalam terminologi teologi mu’tazilah, melainkan lebih mermungut istilah bahasanya yakni menyendiri–mengapa Yai Ka’ kami juluki “mu’tazilah”. Allah a’lam bi al-shawab.