Nyai SolichahOleh: Ahmad Faozan*

Sukses Mendidik Anak

“Bagi Nyai Solichah, jualan gado gado pun akan dilakukan, asalkan anak-anak beliau bisa sekolah,” tutur Bu Nyai Aisyah, putri tertua beliau. Anak-anak beliau mendapatkan didikan langsung dari beliau. Pendidikan menjadi jalur yang paling penting yang harus diambil. Meski demikian, kebebasan memilih sekolah menjadi hak sepenuhnya anak. Gus Dur, Gus Sholah, Bu Aisyah, Gus Umar, Bu Lili Chodijah, dan Gus Im kesemuanya sekolah formal di luar lembaga pendidikan pesantren. Tentu sangat aneh, bukan keluarga kiai tak nyantri. Walaupun demikian, anaknya tetap belajar ilmu agama dengan cara mendatangkan guru alumnus pesantren ke rumahnya. Menurutnya, pilihan sekolah anaknya merupakan pilihan sendiri, maka ia tidak ingin memaksanya.

Namun, dari lima anak itu, hanya Gus Dur di tengah perjalanan membelok, masuk ke pendidikan pesantren, yaitu Pesantren krapyak Jogjakarta dan Api Tegalrejo Magelang, mungkin juga pesantren lain. Selanjutnya Gus Dur mengembara ke luar negeri.

Selama di dalam rumah, semua anak beliau diajarkan kedisiplinan, perbedaan, tanggungjawab, dan lain sebagainya. Kegiatan membaca Al Quran bagi anak beliau tak boleh ditinggalkan.
Baik hidup di Jombang maupun di jakarta, rumah Nyai Solichah selalu ramai dikunjungi banyak tokoh republik ini, baik untuk konsolidasi maupun diskusi, atau sekedar diskusi biasa. Obrolan politik misalnya seakan menjadi menu sehari-hari. Wajar jika Teman teman beliau sampai bilang, “Kalau ayam di rumahmu bisa ngomong pasti dia ikut ngomongin politik”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tentunya menjadikan pendidikan politik gratis bagi para anak Kiai Wahid dan Nyai Solichah. Terbukanya ruang diskusi di antara orangtua dan anak dalam menjunjung perbedaan dan penghormatan, membuat Gus Dur beserta adik adiknya sering debat terbuka secara sehat. Tak hanya di ruang keluarga, dalam ruang publik juga biasa dilakukan, karena sudah terbiasa.

Pernah suatu hari Gus Dur dan Gus Sholah, kakak beradik ini menunjukan debat tulisan dengan saut-sautan tulisan di media nasional mengenai suatu masalah. Tak hanya itu, banyak hal, dengan saudara lainnya juga banyak, hanya saja tak terekpos secara luas. Tapi hal ini terkadang kurang disikapi sebagian orang di lingkup public sebagai sebuah pembelajaran yang mencerdaskan. Malah, dianggapnya mereka sedang bermusuhan dan tidak bisa kompromi.

Yang membuat banyak orang salut adalah Nyai solichah yang berhasil menanamkan sikap keberanian untuk berbeda dan tetap bersaudara. Hal itu dapat terjaga kuat, minimal di lingkungan keluarga.

Kesemua putra-putrinya memiliki kelebihan masing masing. Dan kemampuan yang dimiliki juga beragam. Misalnya Gus Dur. Siapa yang tak mengenalnya, seorang tokoh yang diagungkan banyak orang dari berbagai kalangan. Presiden pertama dari kalangan santri ini, semasa kecil merupaan anak yang dianggap nakal dan suka melanggar aturan. Namun, sejak kecil sudah memiliki kebiasaan membaca buku. Buku apa saja dilahapnya. Begitupun dengan Gus Sholah dan Gus Im, bisa menjadi orang-orang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.

Perjuangan, keberanian, dan kesuksesan Nyai Solichah Wahid dalam mendidik dan membesarkan anak-anak beliau, menarik untuk dijadikan inspirasi. Andai dibuatkan novel mengenai Ibu Nyai Solichah, pastilah menarik dan laku dipasaran. Makamnya di Tebuireng berdekatan dengan Suaminya, Kiai Wahid Hasyim, Mertuanya, Hadratussyaikh Kiai Haji M. Hasyim Asy ari, dan anak lanang beliau, KH. Abdurrahman Wahid (tokoh yang banyak diagungkan oleh anak-anak muda NU dan juga generasi muda bangsa ini). Untuk mengenang beliau, mari mentransfer bacaan al Fatihah kepada beliau, dan tak lupa memetik spirit perjuangannya untuk diterapkan dalam kehidupan kita secara pribadi maupun dalam bermasyarakat. Al Fatihah!


*Direktur Penerbit Tebuireng