Oleh: KH Fawaid Abdullah*
Hakikat pernikahan adalah melaksanakan sunnah Rasulullah SAW dengan mengikat janji suci dalam ikatan yang kuat atau mitsaqan ghalidha. Selain nikah tahlil yang sudah kami terangkan di artikel sebelumnya, muncul istilah nikah mut’ah dan muaqqat yang juga menimbulkan perbicangan hingga sekarang ini.
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa antara keduanya (nikah muaqqat dan mut’ah) tidak ada perbedaan. Sehingga nikah muaqqat menurut ulama tiga madzhab itu sama dengan nikah mut’ah.
Hakekat dari nikah mut’ah adalah pernikahan dengan akad yang waktunya ditentukan., misalnyanya, “Aku menikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun”. Di Indonesia biasa disebut dengan nikah kontrak. Hal tersebut dilakukan baik dihadapan saksi atau dihadapan wali. Keduanya sama saja. Ini yang di maksud dengan mut’ah.
Baik dilakukan dengan mut’ah maupun nikah muaqqat, akad pernikahannya menurut kesepakatan para ulama madzhab, hukumnya batal atau tidak sah. Walau demikian, ada sebagian kecil pendapat yang mengatakan boleh dengan beberapa batasan dan syarat-syarat tertentu.
Asal mula, atau sejarah munculnya nikah muaqqat atau nikah mut’ah antara lain, karena pada masa awal penyebaran Islam, saat masih sangat sedikit sekali ketentuan hukum, juga karena faktor menghadapi musuh-musuh Islam yang terus menerus terjadi bahkan dalam kondisi peperangan, sehingga umat Islam saat itu jauh dari istri-istri mereka yang ditinggal berperang, dan tidak mampu serta tidak sempat pulang mendatangi Istri nya.
Sedang pada saat yang sama, mereka (para suami) itu harus berperang melawan musuh-musuh mereka demi tegaknya agama Islam. Dalam kondisi demikian inilah, maka memang pernah dibolehkan melakukan nikah mut’ah atau nikah muaqqat, karena betul-betul dalam keadaan darurat perang.
Saat ini, tidak ada alasan atau illat apapun yang bisa menjadi legitimasi nikah mutah atau muaqqat, misalnya dalam kondisi darurat peperangan, sebagaimana yang saya tulis di atas ini. Maka tidak ada alasan atau hukum yang bisa menyebabkan boleh atau sahnya nikah muaqqat atau nikah mut’ah tersebut.
Walau sebagian kecil pendapat ulama sekarang mengatakan bahwa nikah mut’ah itu dibolehkan, itu menurut saya hanya alasan yang diada-adakan, dipaksa-paksakan dan dibuat-buat, sehingga seakan-akan ada illat yang menjurus dan menghukumi boleh terhadap nikah mut’ah tersebut. Padahal secara kajian hukum fikih termasuk pendapat imam madzhab sepakat bahwa nikah mut’ah itu batal dan tidak sah.
Kalau kita lihat dan baca lebih lanjut, pendapat Syaikh Abdurrahman al Juzairy dalam Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah ini hanya pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan, itu pun dengan beberapa alasan dan persyaratan yang sangat ketat. Silahkan lihat dan baca Kitab karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, halaman 90-93 Juz 4, terbitan Daar el Fikr.
*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.