Sumber gambar: wikimedia.org

Oleh: Samsul Mubahsri*

“Ja-diii, Kakek, seorang Pejuang?!” tanya Basri menyela Ayah bercerita.

“Waktu itu namanya masih Pasukan Hizbullah.” Jawab Ayah dengan menyandarkan kepalanya di kursi rotan yang sudah rapuh termakan usia. Suara  di balik punggungnya terdengar kian remuk melentur.

“Saat itu, aku sendiri masih tak begitu memperhatikan Kakekmu, karena pikiranku belum sejauh itu. Tiap kali kutanya Nenekmu.

‘Kenapa  Bapak lama tak pulang, Bu?’

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nenekmu selalu menjawab,

’Bapakmu sedang pergi Haji, Nak. Suatu saat, aku juga akan menyusulnya ke sana…’ hanya jawaban itu saja yang kudapat darinya. Setelah pertanyaan itu, aku mencoba menanyakan lagi sesuatu yang lebih mendalam dan aku sempat berpikir sendiri.” kata Ayah sambil menggaruk pelan alisnya yang tebal.

Sesekali, aku juga bisa membaca pikirannya. Terutama di waktu senggang. Kudapati ia sangat pandai menyembunyikan kerinduannya berkumpul dengan Kakekmu. Yang ia lakukan hanyalah berpikir, bagaimanakah cara membuat senang hati anaknya. Pernah juga kutanyakan,

Bagaimanakah, cara melewati ujian yang begitu besar dalam hidup ini Bu?”

Ayah mencoba mengulang kembali ingatan lamanya. Di antara beberapa saudaranya, menurutku hanya ia lah yang begitu fasih meniru langgam suara Nenek.

“Apakah kau ingin mengetahuinya, Sam?” tanya Nenek di hadapan Ayah.

“Tentu, Bu…”

“Baiklah, camkan dengan baik kata-kataku,”

     Sungguh, ilmu Tuhanku cukup tahu akan semua permintaan dan pilihanku.

     Maka doa dan permohonanku, hanyalah saksi butuhnya aku pada-Nya.

     Inilah rahasia, kenapa doaku selalu kupanjatkan di kala suka maupun duka.

     Aku adalah seorang Hamba, itulah yang menjadi kebanggaanku,karena aku akan selalu butuh dan perlu pada-Nya.       

“Hingga suatu ketika, Nenekmu pergi menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci, banyak sekali orang yang membicarakannya. Bahkan banyak saksi mata yang melihat kalau mereka berdua bertemu kembali setelah sekian lama. Aku sendiri sampai saat ini juga masih belum sepenuhnya percaya. Tetapi dimataku, Nenekmu adalah orang yang tak pernah sekalipun berkata dusta kepada orang lain. Bahkan, ia tak pernah sanggup jika diajak membicarakan kesalahan yang telah diperbuat orang lain, kecuali kejelian dalam meneliti aibnya sendiri.

Waktu Wak Damin masih ada, ia juga pernah bercerita dan betul-betul yakin. Bahkan ‘Haqul Yakin’ katanya. Kakekmu telah lama meninggal disaat perang mengusir tentara Belanda. Namun, hingga kini jasadnya masih belum bisa ditemukan. Wallahu a’lam bishowab.”

Bahunya terangkat, tangannya mengepak setinggi dada.  Aku dan Basri terperanga, kami saling memandang dan hampir menelan ludah secara bersamaan ketika mendengar kisah Kakek yang misterius.

“Yang aku ingat, Kakekmu hanyalah seorang petani biasa. Ia tak pernah memakan makanan selain dari hasil yang ditanamnya sendiri, atau disuguhkan dari ibunya, istrinya dan dari gurunya selama mencari ilmu di pesantren.

“Apa orang mati bisa hidup kembali, Yah?” tanyaku.

“Ah, sudahlah. Tak perlu diperpanjang lagi. Lagipula itu sudah lama sekali.”ia langsung bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami berdua.

Pernah juga suatu hari setelah pulang  belajar mengaji dari Surau, aku meminta kunci kemakbulan dari sebuah doa. Walaupun bagiku itu hanyalah keisengan belaka. Namun, hingga kini ingatan itu masih membekas dan bisa  kubaca jelas di dalam kepala. Nenek begitu mafhum dengan permohonanku. Perlahan tangannya menggoreskan pena di atas kertas lama, tulisannya begitu indah. Rapi dan jeli.

Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku.

Aku adalah Hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku.

Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat.

Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku.

Oleh karena itu, ampunilah aku.

Sesungguhnya, tiada yang mengampuni dosaku kecuali Engkau.

Ketika melawati masa akil baligh aku teringat kembali oleh rasa penasaranku. Setiap kali aku mendekati Nenek Tua itu, memang ada perasaan aneh yang tak biasa kudapatkan jika bertemu dengan orang lain. Aku seolah bisa merasakan kedalaman berpikir yang begitu tenang. Ketika kutemui lagi  dia saat  beranjak dewasa sekalipun, aku masih bisa merasakannya. Bahkan di saat aku mendekatinya dengan hati yang sedang kacau, ada sesuatu ketenangan yang sanggup meluluhkan kerasnya jiwa. Hingga suatu saat aku menanyakan sesuatu yang penting  dan teramat penting di dalam hidupku.

Jika diamati kata-katanya begitu  sederhana, namun sanggup membuatku terkesima. Ia tak pernah menggunakan dalil ketika berbicara. Walaupun semua orang tak ada yang meragukan keilmuannya dalam hal beragama. Paling, yang kuingat tentangnya, hanyalah banyaknya Kitab Kuno tebal yang sering ia baca, selain Kitab yang dianggapnya Suci. Tak jarang,  sering pula kusentuh. Namun, hanya membekas rasa ketidaktahuan saja. Aku bagaikan mereguk berlian di antara kerasnya hati yang telah membatu.

0-0

Di saat kulewati malam Jumat dengan pikiran yang lalai, ada sebuah bayangan yang menghinggap dalam bunga tidurku. Bayangan itu semakin lama terlihat semakin jelas di mataku. Ia hanya memandangku lembut, seraya berkata,

“Kuharap kelak suatu saat, engkau bisa menuliskan banyak Kitab di zamanmu. Karena, aku hanya sanggup menuliskan kunci Kitab di dalam hatimu. Tapi ingatlah, tuliskanlah dengan hatimu, jangan kau campur dengan nafsumu. Karena ilmu adalah cahaya.”

Aku hanya terdiam menatapnya, tak sanggup melontarkan kata, tenggorokanku langsung tercekat. Alisku terangkat sebelah, sambil memicingkan mata.

Hmm… menulis?

Dengan menggumam, aku langsung beralih. Demi menghindari kegusaran, segera kupalingkan pandanganku ke halaman depan rumah entah berantah yang sangat lapang, benar-benar lapang, bukan di rumah Nenek ataupun semua rumah yang pernah kusinggahi. Rumah itu memang begitu asing bagiku. Aku terpaku dalam duduk bersanding bersamanya. Ketika berbicara, jarak antara bahuku dan bahunya yang renta tak lebih dari satu kilan saja. Nenek juga  memalingkan wajahnya sesaat ke rindangnya pepohonan. Aku terpantik sebaris doa dari menatapnya, sembari mengecam diriku sendiri. Aku tetap menatap teduh wajahnya, sempat terlintas dalam anganku.

“Ya Allah, semoga Beliau diberikan umur yang berkah, keturunan yang berkah dan lingkungan yang berkah. Semoga kami generasi penerusmu senantiasa dalam lindungan-Mu, Ya Allah. Karena aku yakin! Kelak akan lahir dari generasi penerusmu sosok-sosok orang hebat! Yang bisa mengangkat derajat dan mengharumkan nama keluargamu.”

Mendadak ia menatap heran wajahku, seolah sanggup mendengar doa dari dalam relung hatiku, kemudian tersenyum lepas begitu saja dan bercerita.

“Sudah kudoakan semua, Anak dan Cucuku! Jangan sampai hidupnya susah seperti aku. Sudahlah, biar cukup aku saja yang merasakan hidup sengsara. Mudah-mudahan tirakatku ini bisa dinikmati Anak dan Cucu!” matanya  yang indah berkaca-kaca.

Aku tercenung.

Kata-katanya seolah mendorong laju doa yang kutambatkan sembunyi-sembunyi dihadapannya. Leherku tertekuk merunduk. Tak sanggup bersuara. Di pelupuk matanya yang terlihat hanyalah air mata kebahagiaan, berlinang mengantung, meskipun tak sempat tumpah.

Aku terbawa suasana untuk bertutur kata,

“Nek, berilah aku nasehat sedikit saja yang kelak bisa membuatku hidup tenang di dunia dan akhirat.”

Lalu ia memandangku dengan wajah bersahaja.

“Genggamlah erat ucapanku ini, Nak.” tangan kirinya yang halus dan tipis terasa lembut menyentuh tangan kananku di atas bantaran kursi.

“Janganlah engkau takut, kecuali memandang  sendiri dosa-dosamu. Dan janganlah engkau berharap kepada makhluk, kecuali pada-Nya. Karena pangkal keruwetan hidup adalah DOSA.”

Mendengar ucapannya, hatiku bagaikan dihujam sebongkah es kata-kata. Terasa dingin, namun juga begitu kuat menghantam kerasnya hati. Belum tamam ia bercerita. Tubuhnya yang terbalut jarik kebaya bergerak mendekati jendela kayu. Sambil memandang keluar ia berbicara sendiri tanpa memandangku.

“Kelak ingatlah, NAK!”

Nenek menarik napas panjang, setelah mengedipkan mata  hingga dapat kudengar  tarikannya. Tangannya bergantung, memegang terali besi yang telah lama berkarat dan bercerita lagi,

 Aku khawatir, terhadap suatu masa yang roda kehidupannya dapat menggilas iman.

Iman hanya tinggal pemikiran yang tidak berbekas dalam perbuatan.

Banyak orang baik, tapi tidak berakal.

Ada orang berakal, tapi tidak iman.

Ada lidah fasih, tapi berhati lalai.

 Ada yang khusyuk, namun sibuk dalam kesendirian.

Ada ahli ibadah, tapi mewarisi kesombongan Iblis.

 Ada ahli maksiat, rendah hati bagai Sufi.

Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat.

Ada yang banyak menangis, tapi kufur nikmat.

Ada yang murah senyum, tapi hatinya mengumpat,

Ada yang berhati tulus, tapi wajahnya cemberut.

Ada yang berlisan bijak, tapi tidak memberi teladan.

Ada Pelacur, tampil jadi figur.

Ada orang punya ilmu, tapi tidak paham.

 Ada yang paham, tapi tidak menjalankan.

Ada yang pintar, tapi membodohi.

 Ada yang bodoh, tapi tak tahu diri.

Ada orang beragama, tapi tidak berakhlak.

 Ada yang berakhlak, tapi tidak bertuhan.

 

Kemudian Nenek membalikkan badannya dan menatapku lebih dalam.

Lalu, di antara semua itu. Di manakah kita berada?


Thriller Novel: Pembenci Yang Suci.

Alumni KPMA (Komunitas Penulis Masjid Al-Akbar) Surabaya

Bisa disapa melalui Twitter:@sam_mubahsri

atau email di; [email protected]