sumber ilustrasi: aktual.com

Oleh: Yuniar Indra Yahya*

Rubrik ini diasuh oleh KH. Muthohharun Afif, alumni Tebuireng yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan Al-Amin di Mojokerto. Ketika di Tebuireng, beliau menjadi salah satu murid KH. Idris Kamali dan KH. Shobari. Tulisan ini merupakan hasil serapan dari apa yang beliau sampaikan ketika ngaji kitab Nashoihul ‘Ibad. 

هَمُّ العَرِفِ الثَّنَاءُ وَهَمُّ الزَّاهِدِ الدُّعَاءُ

Hasrat orang ‘Arif hanya  ingin memuji (Allah), sedangkan hasrat orang Zuhud hanya ingin berdoa.  

Di sini tampak jelas perbedaan orientasi hamba yang ‘Arif dan hamba yang Zuhud. Orang ‘Arif, yakni manusia yang sudah benar-benar mengenal dirinya dan tuhannya itu hanya senang memuji Allah dengan sifat-sifat Agung-Nya. Mereka tidak ingin apapun dari Allah, baik berupa pahala dan surga. Mereka hanya berhasrat mengagungkan nama Allah. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lain halnya orang Zuhud, yakni orang-orang yang hanya ingin kebutuhannya dipenuhi oleh Allah. Mereka ingin kemanfaatan diri sendiri saja, misal surga, pahala, atau selamat dari neraka. Tingkatan ini masih di bawah orang ‘Arif. 

Dalam sebuah keterangan lain orang mukmin itu terbagi menjadi tiga:

  1. ‘Abid: mereka ingin mendapat pahala, surga, dan selamat dari api neraka. 
  2. Murīd: mereka ingin mendapatkan sesuatu dari Allah, mulai dari rida Allah, rahmat Allah, dan dekat dengan Allah.
  3. ‘Arif: mereka tidak menginginkan apa pun. Mereka merasa tidak pantas meminta sesuatu dari Allah. Karena sejatinya mereka tidak memiliki apa-apa, semuanya adalah kepunyaan Allah.

Itulah beberapa tingkatan seorang mukmin di hadapan tuhannya. Yang tertinggi adalah orang ‘Arif. Ketika sudah mencapai derajat ‘Arif, maka seseorang tidak akan butuh kepada apa pun selain terbukanya tirai antara dia dan tuhannya. Karena nikmat paling besar adalah bisa melihat Allah. Bahkan ada ahli surga yang hanya ingin melihat Allah. Tidak ingin yang lainnya. Suatu hari ia tidak bisa melihat Allah, seketika itu ia menangis tersedu karena kehilangan nikmat terbesarnya. 

Perbedaan antara orang ‘Arif dan orang biasa dapat terlihat sewaktu dzikir. Orang yang biasa-biasa saja merasa berat dan ingin cepat-cepat selesai. Namun, kalau orang sudah ‘Arif maka ia tidak ingin melepas zikirnya kepada Allah, dimanapun dan kapan pun. Dan zikir mereka tidak hanya sebatas lisan saja, tetapi juga menembus batin mereka. Dikatakan dalam kitab Ushul al-‘Auliya’, orang yang berdzikir tapi hati dan pikirannya tidak menuju yang disebut (Allah), maka hatinya masih terdapat hijab. 

Perbedaan itu disebabkan oleh sikap diri sendiri terhadap Allah. Ibaratnya, saat kita menyebut wanita yang kita cintai. Maka penyebutan nama antara wanita itu dengan wanita lain sudah pasti berbeda rasa.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.