Tebuireng.online— Duta Baca Indonesia Najwa Shihab menyebutkan pesantren adalah rumah bersama, bukan hanya tempat santri putra dan putri yang mondok saja. Tapi juga bisa menjadi rumah yang menyatukan anak bangsa.
Salah satu indikasi yang begitu tampak adalah keterbukaan pesantren dengan mau menerima hal baru seperti kemajuan teknologi. Beberapa pesantren sudah aktif di media sosial dan memiliki website. Bahkan banyak juga santri yang menemukan aplikasi dan bekerja jadi youtuber.
“Saya ingat ucapan tokoh pesantren dari Lirboyo Kiai Karim yang menyebutkan santri harus seperti paku, yang bisa menyatukan. Baik posisinya kecil maupun besar tapi tugasnya sama. Karena itu, pesantren dibutuhkan banyak orang. Terutama saat ada kepentingan,” jelasnya saat mengadakan Talk Show di Pesantren Tebuireng, Jumat (1/11/19).
Dikatakannya, sosok santri terbiasa dengan perbedaan dan tidak mengamuk saat ditinggalkan ketika tidak dibutuhkan. Keputusan pesantren mengikuti perubahan zaman adalah keputusan yang bijak dan pas.
Beberapa pesantren besar saat ini mulai melakukan kajian live streming di youtube dan facebook. Mereka juga mengedit ceramah tokoh pesantren yang cocok dengan instagram dan story whatshapp.
“Kunci dari semua bidang adalah mendekat orang dengan sesuatu yang lebih dulu dekat dengan mereka. Saat ini yang paling dekat dengan manusia pada umumnya adalah handphone. Dunia berubah cepat karena barang ini. Menimal kita mendekatkan yang jauh,” tegas putri pakar tafsir Quraish Shihab ini.
Najwa secara tegas menyebutkan santri dan masyarakat Indonesia tidak punya pilihan selain mengikuti perubahan jika tidak maka akan punah. Jumlah penduduk dunia ini diperkirakan 7,5 milyar. Dari total semua itu, 6 milyar punya handphone.
Jadi, pesantren juga perlu mendekati anak muda lewat aplikasi dan media sosial yang akrab dengan anak muda saat ini. Harus kreatif membuat anak muda jatuh cinta pada membaca kitab kuning.
Kitab klasik ini akan terus relevans bila dibungkus dengan kreatif. Kebanyakan anak muda modern baru membaca berapa halaman saja sudah pada mengantuk. Anehnya, chatingan berjam-jam tidak ngantuk. Disinilah kreatifitas menjadi kunci termasuk dalam masalah membaca.
“Jumlah handphone lebih banyak dari manusia. Lah satu orang punya dua hingga tiga handphone,” sebut Najwa.
Najwa menyanggah bahwa pembatasan alat elektronik di pesantren menghalangi seorang santri untuk berkembang. Baginya, pesantren cukup menyediakan perpustakaan yang memiliki buku banyak, tempatnya nyaman dan ada komputernya untuk santri yang ingin mengetik.
“Ada komputer di sini?. Nah itu saja sudah cukup. Pembebasan penggunaan handphone malah membuat malas belajar dan baca,” ungkapnya.
Perpustakaan harus jadi tempat yang menyenangkan, tamasya dan tempat bertemunya seseorang dengan tokoh besar dunia. Memanjakan pikiran. Melirik apa yang ada di belakang dan memprediksi apa yang ada di depan. Dan ini tantangan untuk semua yang ingin membangun perpustakaan.
“Harus bisa membuat perpustakaan relevan dengan zaman,” tutupnya.
Pewarta: Syarif Abdurrahman