Oleh: Fathurrahman Karyadi

Warung kopi Mak Tari tak pernah sepi dari para pelanggan. Buka setelah maghrib dan tutup menjelang azan subuh. Bahkan 30 menit sebelum maghrib pun para member warungnya sudah menunggu tak sabar di emperan. Untung saja Pak Mathori, suami Mak Tari, selalu menyediakan tikar untuk mereka.

Entah mengapa warung sederhana berukuran 5×8 meter itu justru terkenal dengan nama ”Mak Tari” bukan ”Pak Mathori”. Tokoh perempuan yang dipakai. Suatu ketika ada seorang mahasiswa yang berani mengajukan pertanyaan itu kepada Pak Mathori. Tanpa diduga, ternyata Pak Mathori memiliki filosofi yang dalam, dalam sekali.

”Tari itu artinya joged. Jadi semua orang kalau berjoged, melihat joged, atau ingin berjoged pasti dirubung rasa senang. Sedangkan Mathori itu berasal dari bahasa Arab mathorun yang artinya hujan,” Pak Mathori membenarkan sarungnya, ”Kalau hujan, memang karunia Tuhan, tetapi ada saja yang tidak senang! Bahkan tak sedikit dari mereka yang mengeluh atas kehadirannya.”

”Jadi atas dasar itu Anda memilih nama warung ini Warung Kopi Mak Tari bukan Pak Mathori?” selidik mahasiswa itu dengan nada agak serius.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

”Ya, kira-kira begitu.”

”Nama pun mempengaruhi ya?!!!” celetuk yang lain.

Setelah mengepulkan asap rokoknya Pak Mathori mengangguk ringan. Menyatakan iya.

”Seandainya namanya ’Warung Pak Mathori’ apa jadinya, Pak?”

”Ya kehujanan terus,” timpal Pak Mathori dengan nada guyon.

”Haaaaa…” suasana canda tawa berkelakar.

”Pak, saya pesan Kopi campur jahe hangat ya Pak. Dua…”

Obrolan segerombol mahasiswa dengan Pak Mathori itu terpaksa terhenti ketika pelanggan lain yang baru datang memesan untuk dibuatkan kopi.

Antara Pak Mathori dengan Bu Tari, tugas keduanya sama. Mulai membuat kopi pesanan, menyodorkannya jika sudah siap saji, menjadi kasir yang mampu menghitung cepat tanpa kalkulator, mencuci cangkir dan tentunya membersihkan bekas nongkrong para pelanggan. Keduanya tidak pernah iri dan bertengkar dengan tugas itu. Bahkan jika ada pelanggan baru masuk, keduanya saling mendahului untuk melayaninya. Seakan-akan para pelanggan itu adalah malaikat dengan seribu sayap yang siap membagikan jutaan rahmat.

Bagi para mahasiswa Yogjakarta, sosok Mak Tari dan Pak Mathori adalah tokoh idaman mereka. Sikapnya yang lues, supel, menghormati pelanggan menjadi alasan mereka untuk memilih warung kopi Mak Tari sebagai tempat kongkow bukan warung kopi yang lain. Ngopi di malam hari adalah obat dari segala kepenatan dan puncak kenikmatan tersendiri. Apalagi setelah seharian penuh dijejali ilmu di kampus dan sibuk dengan seabreg aktifitas organisasi. Ups…

***

Malam itu malam Jumat. Malam penuh berkah bagi mereka yang berkeyakinan bahwa Muhammad adalah Rasulnya. Umat muslim seluruh dunia, memiliki banyak ritual khusus di malam itu. Mulai membaca Yasin baik sendiri ataupun berjamaah, Tahlil, Ratib, maulid Nabi atau sekedar shalawat ringan yang dihafal. Mahasiswa Yogjakarta pun demikian. Apalagi mereka yang alumnus pondok pesantren, ritual-ritual semacam itu amat erat dalam budaya mereka.

Pukul 18.00 warung kopi Mak Tari buka seperti biasa. Namun sepi, karena mereka berdua faham para mahasiswa sedang mengadakan acara masing-masing. Barulah setengah jam selepas azan Isya warung kopi pinggir kali itu ramai dikunjungi para pecinta kopi, dan pecinta rokok tentunya.

”Din, baru kelihatan?” tanya Masduqi yang sejak tadi nongrong di warung kopi Mak Tari.

”Iya, abis shalawatan bareng di kamar tadi,” tukasnya ringan.

”Shalawatan?”

”Iya, kenapa?” tanya Udin heran.

Masduqi adalah mahasiswa jurusan Filsafat sekaligus merangkap jurusan perbandingan agama. Iya tak percaya sedikit pun tentang hal-hal ghaib, spiritual dan ritual-ritual yang dianggapnya aneh.

”Shalawat itu artinya apa, Din?”

”Adakalanya al-madh dan al-du’a...”

”Seruput…” bunyi isapan Masduqi meminum kopi lalu diletakkannya cangkir itu di tikar lesehan. ”Walaaaah, jangan sok bahasa Arab gitu dong. Bahasa Indonesia aja, boy!!!”

Udin mulai mengeluarkan rokok dari sakunya, ”Artinya pujian dan doa, Bro! Ah, ente.”

”Kalau shalawat itu sebagai pujian, aku faham. Bahwa itu adalah ekspresi seseorang kepada yang dicintainya. Ya, seperti layaknya orang pacaran saling mengirim kata-kata romantis lah begitu. Tapi…” Masduqi mengisap rokoknya sejenak, ”Kalau Shalawat bermakna doa itu kok gimana gitu. Masak Nabi Muhammad sebagai tokoh manusia yang paling paripurna masih didoakan? Pastinya beliau tak punya dosa dan dijamin surga, kan?”

”Iya juga ya,” cetus Udin kebingungan.

”Wah… masak kamu bingung? Nggak bisa jawab? Kamu kan sering shalawatan?”

”Iya tapi nggak sejauh itu aku membahasnya. Yang penting baca.”

”Ya udah, itu PR buatmu. Kalau sudah ketemu jawabannya kasih tahu aku.”

Pertandingan Liga Itali dimulai. Inter Milan Vs AS Roma tanding seru malam itu. Suasana warung kopi Mak Tari ramai, ramai sekali. Apalagi jika salah satu kubu berhasil mencetak gool. Suara kekompakan mereka bersatu sampai menembus langit ke tujuh.

 

***

Kini Udin sudah siap memecahkan pertanyaan Masduqi tempo hari. Setelah dipersiapkan semuanya ia janjian dengan Masduqi via sms. Akhirnya diputuskan nanti malam di tempat semula, Warung Kopi Mak Tari. Udin akan mengajak seorang teman. Rahman namanya. Dia alumnus pesantren daerah Jawa Timur. Udin yakin kalau Rahman bisa menjawab pertanyaan Masduqi.

”Gimana udah ketemu jawabannya?” sapa Masduqi sambil menjabat tangan Udin di warung kopi Mak Tari.

”Udah lah,” jawabnya yakin. ”Ini kenalkan, Rahman.”

Masduqi dan Rahman berkenalan, saling senyum.

”Nah ini yang akan membantu kita menjawab pertanyaanmu tempo hari.”

”Oke. Udah pesan kopi?” tanya Masduqi.

Di Yogjakarta, jika pertanyaan basa-basi itu keluar maka artinya ia yang akan meneraktir. Istilahnya ’Rujak Jagung’ alias yang ngajak nanggung.

”Belum, hehehe…”

Sejurus kemudian Masduqi beranjak dari duduknya menghampiri Mak Tari atau Pak Mathori yang sedang tidak melayani untuk membuatkan mereka tiga cangkir kopi hangat.

”Gimana-gimana?” selidik Masduqi tak sabar.

To the point aja ya,” Udin mengeluarkan sebungkus rokok kreteknya untuk dinikmati bersama, ”Seperti yang kamu bilang kemarin itu, benar bahwa Nabi Muhammad adalah insan kamil atau tokoh paripurna. Tentang mengapa beliau didoakan atau dibacakan shalawat lebih jelasnya biar Mas Rahman nih yang nerangin,” sudah menjadi adat kalau ada maunya sapaan ”Mas” muncul padahal biasanya Udin memanggil Rahman tanpa gelar.

Rahman ambil posisi dan langsung berkata dengan semangat 45, ”Iya jadi gini, ibaratnya ada bak mandi penuh berisi air kemudian kita isi lagi dengan air dalam ember atau gayung berkali-kali. Maka apa yang akan terjadi?”

Tanpa pikir panjang Masduqi menyeloroh, ”Pasti airnya tumpah!”

”Nah itu tuh….” sambung Udin tiba-tiba. Tampaknya ia ingin meneruskan analogi itu tapi ternyata tidak.

”Kemanakah air itu tumpah?” Rahman mengajukan pertanyaan.

”Pasti ke bawah lah,” Masduqi memastikan.

“Benar sekali. Dan tentunya kita akan ikut basah karena luberan air tersebut. Itu adalah ibarat pahala kita. Bukan berarti kita mendoakan Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam agar beliau masuk surga dan dosanya diampuni tidak. Tetapi, di samping sebuah perintah dari Allah, serta menambahkan rasa cinta, juga berharap pahala dan syafaat berkat luberan air bak yang penuh tadi.”

Kopi hangat yang mantab itu kini habis tinggal ampasnya saja. Bahkan ampasnya pun berkurang karena dibuat selimut penyedap rasa di punggung rokok. Diam-diam Mak Tari dan Pak Mathori menyimak obrolan mereka meski tak fokus. Setelah tidak ada yang memesan, Pak Mathori yang sedang menganggur merapat ke diskusi ringan itu.

”Saya punya trik jitu jika kalian semua ingin bertemu dengan sosok agung itu dalam mimpi. Mau?”

”Wah bukan dari tadi nih, Pak Mathori…”

”Iya Pak apa? Kami kasih tahu dong.”

”Aku pesan kopi lagi deh…” seloroh Udin seperti sogokan.

”Alkisah dulu ada seorang murid bertanya kepada gurunya. Dia ingin sekali bermimpi bisa bertemu Rasulullah. Oleh gurunya itu disuruh makan ikan laut sesering mungkin. Perintah gurunya itu dilaksanakan. Dan tujuh hari kemudian ia melaporkan ke gurunya itu.”

”Terus gimana tuh….”

”Sstttt… santai biar Pak Mathori yang jelasin,” cergah Udin.

”Hmmm… kata murid itu, ’Pak Guru saya sudah melaksanakan perintah paduka. Tiga kali sehari selama tujuh hari saya mengkonsumsi ikan laut terus. Tapi mengapa saya belum bermimpi ketemu Rasulullah? Saya malah bermimpi bertemu ikan laut banyak sekali. Murid itu bingung,” jeda Pak Mathori sejenak, ”Nah itulah jawabannya,” pungkas beliau menirukan perkataan guru si murid tersebut.

”Maksudnya gimana, Pak?”

”Kata guru itu, ’Sesuatu yang mengambil banyak porsi dalam hidup kita maka itulah yang akan kebawa dalam alam mimpi. Bagaimana mungkin bisa bertemu Nabi dalam mimpi, lha wong shalawat, membaca sejarahnya, dan mengenal siapa beliau saja kita tidak pernah. Iya kan?!”

Ketiga Mahasiswa itu terbengong. Ajib mendengarkan kisah menarik yang selama ini belum pernah ia dengar. Ternyata bukan dari dosen atau rektor mereka, melainkan dari seorang penjual kopi di pinggiran sungai.

Cahaya rembulan bersinar terang, menangkap cahaya matahari lalu memantulkannya ke bumi. Dengan tulus tanpa beban. Di keheningan malam itulah, ia mengingat memori ratusan tahun silam ketika Rasulullah masih hidup menemaninya. Bahkan ia rela membelah diri sebagai mukjizat kerasulan Muhammad;

”Dia adalah sosok pria sempurna yang tak pernah bermimpi basah, tak pernah menguap hingga wajahnya selalu tampak tampan dan ceria, tak ada lalat satu pun yang berani hinggap di seluruh tubuhnya, kala matahari bersinar ia tak memiliki banyangan karena cahanya lebih terang dari segalanya, mampu melihat kondisi di belakang tanpa harus menolehkan kepala, jika sedang bersama-sama maka dialah yang paling tinggi, sejak kecil sudah suci tersunat, meski matanya tidur namun hatinya tetap bangun selamanya.”

 ***

”Bu, bangun Bu!” Pak Mathori berusaha menyadarkan istrinya dari tidur pulas. Sejak jam 02.30 istrinya memejamkan mata dalam kondisi duduk. Pak Mathori enggan membangunkannya, ia faham bahwa istrinya butuh sitirahat. Namun karena adzan subuh hampir tiba dengan berat hati ia membangunkan istrinya.

Mata Mak Tari mulai membuka perlahan. Kepalanya bangkit meninggalkan tumpuan tangan yang dijadikannya sebagai bantal. Kedua matanya belum terbuka benar. Tampak belum begitu sabar, namun keajaiban Tuhan turun. Mulutnya terbuka dan mampu mengatakan sesuatu dengan suara lirihnya;

”Kau manusia yang tak sekedar manusia.

Perawakanmu sedang, tak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.

Rambutmu ikal tidak terlalu kerinting dan tidak lurus tergerai.

Tak gemuk dan wajahmu tidak terlalu bulat.

Kulitmu putih kemerah-merahan.

Bola matamu hitam pekat, bulu mata lentik,

serta bahu yang lebar dan tidak berbulu.

Telapak tangan dan kakimu tebal.

Saat berjalan, seakan-akan kau melangkah menuruni tanah yang landai.

Ketika menoleh, kau menoleh dengan seluruh badan.

Di antara kedua bahumu terdapat tanda kenabian.

Kau adalah nabi terakhir,

manusia yang paling lapang dada, ucapanmu paling bisa dipercaya,

karakter paling lembut dan cara bergaul paling mulia.

Siapa pun yang pertama kali melihatmu pasti tertunduk hormat.

Bagi orang yang telah lama bergaul denganmu pasti mencintaimu betul.

Siapa pun yang mencoba menggambarkan karaktermu pasti akan berkata:

’Aku tidak pernah melihat seorang pun yang sama sepertinya,

baik sebelum maupun setelah kau wafat.” [1]

Pak Mathori takjub, bahagia penuh heran. ”Bu, Ibu kenapa? Tiba-tiba berpuisi. Indah sekali…”

”Rasulullah Shallahu alayhi wasallam…” ucapnya sambil tersenyum mandang suaminya tercinta.

”Ibu mimpi bertemu Rasulullah?”

Tanpa mengeluarkan kata, namun kepalanya mengangguk ringan tanda iya. ”Allahumma Shalli ala Muhammad…”

”Allahumma shalli alayhi…” jawab Pak Mathori sambil merangkul istrinya penuh kasih sayang yang mendalam.

”Allahu akbar-Allahu akbar.”

Sayup-sayup terdengar suara azan subuh. Menggema memecahkan langit Yogjakarta. Ayam-ayam mulai ber-kukuruyuk membangunkan umat manusia dari istirahat lelahnya. Angin malam berhenti sejenak menjawab azan dari muadzzin yang ikhlas meluangkan waktunya tuk menyerukan nama Agung Tuhan. Berbeda dengan yang lain, azan subuh bagi Pak Mathori dan Mak Tari adalah isyarat untuk berpindah tempat. Hijrah dari warung menuju rumah, dari dunia menuju beranda Tuhan dalam dekapan cinta kedamaian.

Jakarta, 29 Desember 2011

[1] Dikutip dari Hadits Syamail al-Nabi  Riwayat Imam Tirmidzi, Ibnu Saad dan Baihaqi, RA.