Oleh: KH. A. Musta’in Syafi’ie
إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُ.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، أَعُوْذُبِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ
Kita dituntut untuk selalu meningkatkan prestasi taqwallah, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bahwa pertanyaan yang sering muncul ditengah-tengah kita mengenai ibadah, salah satu fungsi as-Sholat yaitu tanha ‘ani al-fakhsya wa al-munkar bisa mencegah dari perbuatan buruk.
Sehingga, orang yang sungguhan dan bisa menikmati, menemukan nilai dan mutiara dalam salat itu maka pasti perilaku dia akan menjadi baik. Persoalan, banyak orang yang salat tetapi perilakunya belum bisa baik. Jawabannya adalah salat dia kurang berkualitas. Tidak berarti harus ditinggalkan, tetapi salat itu wajib dan kita diperintah untuk terus meningkatkan prestasi salat itu sehingga bisa memetik substansinya.
Dalam prestasi takwa ini, yang tertinggi digabung dengan keilmuan. Sehingga al-Quran menyebut “Ulama’ , orang yang pintar itu digandengkan dengan prestasi khosyyah.” Inna ma yakhsya Allaha min ‘ibadihi al-‘Ulama’ bahwa orang yang sekedar pintar seperti professor, doktor, ahli ini dan itu, dan sebagainya. Itu belum sebuah prestasi dihadapan Allah. Memang prestasi akademik, tapi belum sempurna.
Sealim apa pun seseorang, bukan itu ukurannya. Sekaya apa pun seseorang, bukan itu ukurannya. Masih ditunggu bagaimana sikap seorang alim bisa menimbulkan sikap khosyyah. Ditunggu bagaimana seorang yang kaya itu bisa mendermakan hartanya.
Karena itu, benarlah apa yang disiratkan oleh baginda Rasul bahwa pewaris nabi atau ulama tidak seluruhnya itu baik. Ada juga sebagian yang disebut dengan ‘Ulama’ as-Su’. Imam Al-Ghazali banyak membicarakan soal ini.
Peristiwa pilkada Jakarta kemarin sudah selesai. Itu adalah salah satu ujian, dan cara Tuhan untuk memperlihatkan kepada umat Islam di negeri ini. “Siapa yang sesungguhnya ulama itu. Kyai sungguhan itu siapa?” Disitulah akan muncul fatwa-fatwa yang arahnya itu jelas.
Ketika Imamuna as-Syafi’I rahimahullah ‘alaihi, dalam pergumulan politik yang sangat mengganas waktu itu, bahkan sampai disinyalir bahwa as-Syafi’I yang berumur 54 sampai sekarang masih misteri, wafatnya seperti apa. Indikator yang menunjukkan as-Syafi’I itu diracun karena fatwa-fatwanya tidak mau kompromi dengan pemerintah yang zalim.
Saat itu ditanya, “Ya Syaikh, pada saat orang-orang pintar, para kyai, saling beradu dalil sendiri-sendiri. Kemudian kami ini orang awam, harus mengikuti ulama yang mana.”
Jawabannya tegas, “ikutilah ulama yang dibenci oleh orang kafir atau orang-orang yang ahli maksiat. Karena fatwanya itu lebih jernih. Lebih berpedoman kepada khosyyah, ketakwaan, dan pertanggungjawaban ukhrawi. Jangan mengikuti ulama-ulama yang disukai oleh non-muslim, oleh kafir, dan ahli maksiat. Karena biasanya, fatwa-fatwa yang disampaikan itu berpertimbangan keilmuan.” Itu bedanya.
Kalau pertimbangan keilmuan, maka semua sisi bisa dijadikan dalil. Meminta dalil apa pun dari al-Quran dan Hadis, ketemu. Tetapi mana yang berkualitas menurut keimanan, yaitu sebuah fatwa yang didasari oleh sebuah khossyah dan tidak murni didasari dengan ilmu.
Hari ini kita bisa mengukur dengan hati murni seperti apa sikap pemerintahan sekarang. Dan seperti apa nikmatnya Indonesia ini. Ditakdir oleh Allah, mayoritas penduduknya itu beragama Islam. Santun, sabar, tetapi jangan kelewatan. Tetap menyebar kedamaian. Untung sekali, yang disiram air keras saat keluar dari masjid usai melaksanakan jamaah subuh itu penyidik KPK senior. Dan beragama Islam.
Maka umat Islam dengan segala ketulusannya menyerahkan ke polisi dan yang berwenang. Dan tidak ada reaksi apa-apa, meski polisi terlihat agak ayem-ayem saja.
Bias dibayangkan, kalau yang disiram air keras itu penyidik KPK senior yang baru keluar dari gereja. Keluar dari kebaktian gereja, lalu disiram seperti itu. Saya yakin, mereka akan turun tangan dan menuduh tidak ada toleransi, mengacau kerukunan antar umat, dan sebagainya. Langsung zona militer, gereja dijaga dan sebagainya.
Harusnya kita membuka mata, bagaimana nikmatnya fadl Allah yang diberikan kepada NKRI ini, mayoritas penduduknya adalah muslim. Untung, yang melakukan demo membawa api lilin itu bukan orang Islam. Peraturan tidak membolehkan berkerumun malam setelah jam enam. Apalagi membawa api lilin, itu membahayakan. Tetapi atas nama solidaritas, itu dibiarkan oleh aparat keamanan.
Buat Islam, para kyai, para intelektual, politikus, mohon dipikirkan bahwa sesungguhnya kita ini banyak dikepung. Hanya saja tinggal waktu, menunggu segalanya. Tetapi Islam tenang saja, aman kita penuh pengertian. Sementara orang Islam yang hanya ingin salat Jumah berjamaah di masjid, hanya membawa surban dan sajadah. Dijaga (militer) seperti mau perang saja.
Hal-hal seperti ini cukup kita maknai dengan yang terbaik. Dan kita tetap dewasa, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Tetapi, persatuan dan kesatuan NKRI ketika diucapkan oleh seorang muslim itu tidak begitu dihiraukan. Dengan demikian, sesungguhnya militansi di dalam Islam, saya tidak membicarakan soal politik, tetapi persoalan benarkah bahwa kita yang selama ini sebagai muslim itu benar-benar (kembali ke pribadi kita), yang oleh hadratu Rasul disampaikan, “benarkah kita ini sudah bisa menikmati khalawata al-Iman kenikmatan iman?”
Saya ambil bahasa yang paling bagus. Al-Quran al-Karim, di dalam bahasa Arab kata “iman” dan kata “aman” itu identik. Amina ya’manu aman, Aamana yu’minu beriman. Seharusnya, seseorang itu merasa aman di tengah-tengah orang yang beriman. Orang non-muslim yang tidak beriman kepada Allah itu merasa aman di tengah-tengah umat Islam yang beriman.
Tetapi persoalannya, di antara kita pribadi-pribadi, perangkat desa, RT, RW, benarkah lingkungan kita ini aman di tengah-tengah umat yang beriman. Itu persoalan.
Pernah ada sebuah dialog antara as-Syaikh Muhammad Abduh di Mesir dan Ernest Renan seorang filosof Prancis. Ernest Renan ini dalam orasinya mengkritik habis umat Islam. Tidak disiplin, tertinggal, terbelakang, dan lain-lain.
Setelah itu, as-Syaikh Muhammad Abduh berbicara menangkis semua tuduhan-tuduhan jorok. Tidak aman, tidak jujur dan lain-lain. Menangkis tuduhan dengan menyebut sekian konsep agama bahwa konsep Islam itu begini, hebat, dan seterusnya.
Dibantah, giliran Ernest Renan yang bertanya, “Tuan, saya tahu persis konsep Islam seperti itu bagus sekali. Dan saya tahu. Saya tahu persis bagaimana hebatnya konsep Islam, tidak ada yang melebihi hebatnya dibanding konsep Islam. Tapi Tuan, tolong tunjukkan satu komunitas, satu negara saja, yang merepresentasikan, melambangkan, mewakili dan mengamalkan itu semua?”
As-Syaikh Muhammad Abduh diam. Karena memang tidak ada di dunia ini.
Beberapa hari kemudian, di George Washington University melakukan penelitian mengenai negara-negara “Islami”. Artinya negara yang perilakunya sesuai dengan ajaran Islam walaupun bukan orang muslim. Diteliti 200 negara, dengan memasang indikator-indikator Islami yang disebut dengan Islamicity Index, semua indikator diambilkan dari al-Quran dan al-Hadis.
Anda bisa bayangkan, George Washington University meniliti negara-negara di dunia ini yang teraman dan terbagus, yang Islami dengan indikator Islami. Contohnya, bagaimana perilaku jujur. Semua hadis-hadis tentang etika itu dikumpulkan semua dijadikan indikator.
Subhanallah, dari sampling populasi 200 negara ini. Yang tertinggi, teraman, dan berprilaku Islami, nomer satu adalah New Zealand. Kanada nomer lima.
Teman saya yang di Kanada itu bertanya kepada tuan rumah, “Kenapa kamu kok tidak mengunci pintu rumah?” Si tuan rumah menjawab, “buat apa dikunci?” Itu sudah cukup menjadi jawaban.
Negara-negara Islam, Arab dan seterusnya. Itu seluruhnya berada dalam urutan di atas 100. Dan Indonesia urutan 144. Negara paling tidak aman.
Memang benar, terkadang pulang dari salat Jumah saja kita membawa sandal (orang lain). Kita masih saling berlomba memperbesar gembok. Yang salat Jumah kadang juga kehilangan sepeda. Di perkuliahan juga dan lain-lain. Mohon maaf, koruptor-koruptor yang muslim juga banyak.
Andai kita balikkan, sesungguhnya apakah kita ini sudah beriman. Memang kita muslim, tetapi khalawatu al-Iman itu dimana. Arab, termasuk Makkah, orang yang pernah umrah dan haji di hotel Makkah yang biasanya itu. Perkara dibobol dan kehilangan itu tidak tehitung. Tetapi, kalau di negara Eropa yang maju itu aman. Uang kami pernah tertinggal di bawah bantal sebuah hotel. Kami kembali lagi, kamar sudah dibersihkan dan uang tetap ada di bawah bantal. Tapi kalau di Arab, lain cerita nanti.
Apakah peneliti dari George Washington University itu salah indikator. Andaikata indikatornya itu dibalik bukan menggunakan Islamicity Index melainkan menggunakan formalistik atau bukan value melainkan lahiriah. Contohnya, indikatornya adalah jumlah paling banyak orang yang melakukan umrah dan haji. Jumlah paling banyak yang hafal al-Quran. Jumlah paling banyak yang mengaji Hadis.
Andai indikator dibalik menjadi formalistik, maka saya yakin Indonesia mendapat urutan yang tinggi.
Untuk itu, ini adalah sebuah gambaran. Bagaimana keimanan di lingkungan kita, bukan untuk mencaci tetapi untuk memberitahu. Orang yang ingin sehat, harus siap menelan pil sepahit apa pun. Sebagai pengantar bulan Ramadan, kita bisa berikhtiar. Menghadapi Ramadan ini dengan ibadah yang berkualitas. Mudah-mudahan kita sebagai orang beriman bisa menikmati khalawata al-Iman. Keindahan dan manisnya iman itu.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم، وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم، فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.