Sumber gambar: https://bangkitmedia.com/telapak-tangan-hadratus-syaikh/

Tahun 1415 H warisan emas itu lahir. Buah pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari telah diikat erat dalam kumpulan kitab yang kita kenal sekarang. Cucu beliau KH. Ishomuddin Hadziq, punya cara tersendiri untuk mengunduh berkah dari kakeknya yang gemar menulis, Gus Ishom yang punya kecapakan ilmu manuskrip, mendokumentasikan sejumlah karya tulis Hadratussyaikh dalam Irsyadu as-Sari.

Kalau kita melihat sebuah pohon besar dan rindang, maka yang terlintas di pikiran kita adalah sungguh nyaman seandainya berteduh di bawah pohon itu. Tetapi, apakah pohon tersebut tiba-tiba saja jatuh dari langit? Jelas pohon itu pernah kecil dan masih berupa cikal bakal atau biji. Dalam pembukaan kitab Adabul ‘alim wa muta’allim karya Hadratussyaikh, beliau menyodorkan hadis tentang biji.

Biji dalam artian buah hati kita, anak-anak kita. Hak seorang anak atas orang tuanya adalah memberi nama, air susuan, dan adab, yang baik.

فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَقُّ الْوَلَدِ عَنْ وَالِدِهِ أَنْ يُحْسِنَ اِسْمَهُ وَيُحْسِنَ مَرْضِعَهُ وَيُحْسِنَ أَدَابَهُ

Hadis riwayat Aisyah r.a. ini, jika dilihat dalam hal rumah tangga maka hadis ini mempunyai nilai lebih karena Aisyah lah istri dan partner rumah tangga Rasulullah. Begitu buah hati telah lahir, sudah kita beri nama yang bagus, sudah kita beri asupan gizi yang baik dan cukup, tapi sudahkah juga diajarkan adab dan sopan santun?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam keterangan selanjutnya, Hadratussyaikh mengutip hadis lain riwayat Ibn Sirrin yang bercerita tentang bagaimana keadaan para sahabat dan tabi’in belajar mencari petunjuk atau hidayah itu seperti mereka belajar mencari ilmu. Ini berindikasi bahwa seseorang yang sedang mencari ilmu, dalam waktu bersamaan seyogyanya punya spirit menempuh jalan mencari hidayah juga. Keduanya adalah poin penting untuk membentuk keseimbangan sikap baik dari seorang individu.

Tanpa adanya adab, ilmu akan terasa kering. Kita ambil contoh kasus yang terjadi di Madura beberapa waktu lalu, ada seorang murid pintar bela diri memukul gurunya sendiri di atas batas wajar, berakibat gagar otak dan akhirnya guru tersebut tidak tertolong. Ini sungguh tidak diharapkan terjadi lagi. Ilmu yang tidak dibarengi dengan akhlak, akan berpotensi disalahgunakan oleh pribadi tersebut.

Dalam tradisi pesantren, ilmu dan adab layaknya makanan yang sering dikonsumsi setiap hari. Tapi ada prioritas adab yang harus diunggulkan daripada ilmu. Hadratussyaikh memberikan gambaran bagaimana posisi adab dan ilmu;

قَالَ رُوَيْمٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَابُنَيَّ اجْعَلْ عِلْمَكَ مِلْحًا وَأَدَبَكَ دَقِيْقًا

“Ruwaim r.a berkata: Wahai anakku, jadikanlah ilmumu sebagai garam dan tata kramamu sebagai tepung.”

Ketika garam dan tepung dicampur, maka kadar tepung haruslah lebih banyak daripada garam. Jika sebaliknya, maka makanan tersebut tidak disukai banyak orang karena terlalu asin. Ada plesetan seperti ini, ‘jadi mending kita belajar ilmu sedikit saja, kan katanya prioritas adalah akhlak’. Ini disalahgunakan oleh orang-orang yang malas mencari ilmu. Yang lebih tepat adalah kita tetap tekun mencari sebanyak-banyaknya ilmu baik agama maupun sains, tapi konsekuensinya kita juga harus menebalkan akhlak kita, agar bumbu dan masakan itu jadi pas dan tidak terlalu asin.

Adab Perspektif Hadratussyaikh

Hadratussyaikh menegaskan dalam bahasan berbagai ‘amaliah keagamaan, adab adalah ruh di mana amal dan pekerjaan itu bisa dianggap atau diterima Allah Swt. Amal keagamaan apapun, amal hati, ragawi, ucapan, atau kerja sosial, semua dilingkupi oleh adab, pekerti, dan akhlak yang terpuji. Mengapa? Karena eloknya amal dihiasi dengan adab adalah tanda diterimanya amal di akhirat nanti.

Kehidupan modern dengan kecepatan tiada henti di era digital, banyak mengelabui diri kita. Semua dinilai dari materi dan segala hal yang kasatmata, bahkan menafikan adab dalam perilaku kehidupan. Sebenarnya halal saja, bagi siapa saja yang menjadikan dunia adalah tujuan akhir. Tapi ingat, sebagai muslim yang baik, dunia bukanlah tujuan akhir.

Masih dalam pembukaan kitab Adabul ‘alim wa muta’allim, Hadratussyaikh menceritakan bahwa Imamuna as-Syafi’i r.a ditanya mengenai bagaimana hasrat beliau terhadap adab atau akhlak. “Aku mendengar satu huruf saja mengenai akhlak, maka anggota tubuhku menikmati seakan-akan anggota tubuhku punya telinga yang asik mendengar itu.”

Kemudian Imam Syafi’i ditanya sekali lagi, bagaimana gambaran pencarianmu terhadap akhlak. Beliau menjawab, “layaknya pencarian seorang perempuan yang kehilangan anak semata wayangnya.”

Ulama-ulama terdahulu sudah memberikan contoh kepada kita, bahwa urgensi memiliki adab atau akhlak tidak akan pernah selesai sampai akhir zaman. Di sini Hadratussyaikh mengingatkan kita kembali, mengajarkan adab dan memiliki adab adalah hal paling dasar yang harus dimulai sejak dini. Terlebih, bagi para pencari ilmu yang notabene berbaur dengan berbagai ilmu juga harus mementingkan akhlak dalam segala hal. Kalau dalam tradisi pesantren, ada istilah ‘agar ilmu itu berkah maka harus dihiasi dengan akhlak dan tata krama.

Hadratussyaikh juga mengutip qoul ‘ulama:

قَالَ بَعْضُهُمْ التَّوْحِيْدُ يُوْجِبُ الْإِيْمَانَ فَمَنْ لَا إِيْمَانَ لَهُ لَاتَوْحِيْدَ لَهُ، وَالْإِيْمَانُ يُوْجِبُ الشَّرِيْعَةَ فَمَنْ لَا شَرِيْعَةَ لَهُ لَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ، وَالشَّرِيْعَةُ تُوْجِبُ الْأَدَبَ فَمَنْ لَا أَدَبَ لَهُ لَا شَرِيْعَةَ لَهُ وَلَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ.

“Sebagian ulama berpendapat: Tauhid mewajibkan iman, barangsiapa tidak punya iman maka tidak ada tauhid baginya. Iman mewajibkan syari’at, maka barangsiapa tidak punya syari’at maka tidak ada iman dan tauhid baginya. Syari’at mewajibkan adab, maka barangsiapa tidak punya adab maka tidak ada syariat, iman, dan tauhid baginya.”

Seperti keterangan sebelumnya, dalam pendapat ini menekankan bahwa adab adalah pondasi dari syariat, iman, dan tauhid. Karena adab atau akhlak juga merupakan manifestasi syariat, iman, dan tauhid, yang baik dan benar. Bagaimana seorang muslim bersikap tanpa adab atau akhlak? Maka akan dipertanyakan keislamannya. Wallahu a’lam


Ditulis oleh M. Sutan Alambudi, mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Disarikan dari berbagai sumber.