Oleh: Rif’atuz Zuhro*

Rasulullah SAW telah mengingatkan adanya tiga penyimpangan di tengah umat. Ketiga hal yang harus diwaspadai itu adalah penyimpangan kelompok yang melampaui batas (tahrif al-ghalin), klaim kelompok batil (intihal al-mubthilin), dan ta’wil orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Seperti sabda Rasulullah SAW yang berarti, “Yang membawa ilmu agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang adilnya, yang membersihkannya dari penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, klaim orang-orang batil, dan ta’wil orang-orang bodoh.”

Dalam buku Khazanah Aswaja yang disusun oleh KH Abdurrahman Navis, Lc., M.H.I dan Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur lainnya, menerangkan dalam tafsir pakar hadits tentang hadits di atas. Menurut al-Mubarakfuri (1327-1414 H/11909-1994 M), seorang pakar hadits asal India secara rinci menyebutkan tiga perilaku tersebut. Pertama, penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, tahrif al-ghalin) terjadi melalui: (a) Penyimpangan ahli bid’ah terhadap makna Al-Qur’an dan al-Hadits sehingga keluar dari maksudnya, dan (b) terlalu ketat dalam memahami Al-Qur’an.

Kedua, klaim orang-orang batil (intihal al-mubthilin) terjadi melalui: (a) klaim dalil yang tidak sesuai dengan tempatnya, dan (b) sinkretisme atau pencampuradukkan agama. Ketiga, takwil orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin) terjadi melalui: (a) penafsiran al-Qur’an dan al-Hadits dengan penafsiran yang salah, (b) menganggap sepele penafsiran al-Qur’an dan al-Hadits, serta meninggalkan perintahnya berdasarkan penafsiran yang lemah. (Kitab Mir’ah al-Mafatih, al-Mubarakfuri)

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat telah mengalami berbagai tantangan dari aliran-aliran yang menyimpang, dengan munculnya berbagai aliran, antara lain:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertama, Golongan yang mencela sahabat Nabi seperti kaum Syiah atau Rafidhah dan para pendukungnya. Kedua, Golongan Mu’tazilah yang dalam menyucikan Allah seraya mengingkari sifat-sifat Allah (Mu’atillah). Ketiga, Golongan Mujassimah (yang menggambarkan Allah mempunyau organ tubuh), dan Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Keempat, Golongan Jabariyah dan kaum Fatalistic yang memandang bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mempunyai pilihan.

Kelima, kaum tekstual dan ekstrim seperti Golongan Khawarij, kelompok-kelompok teroris, golongan takfiri, yang mudah mengkafirkan pihak yang berbeda dengan mereka. Keenam, Golongan liberal-sekuler yang mendudukkan rasio secara berlebihan, dan memisahkan antara negara dan agama. Padahal menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, tujuannya dibentuk pemerintahan adalah melestarikan agama dan mengatur urusan dunia. Ketujuh, Oknum-oknum yang mengklam sebagai pengamal tasawuf tetapi meninggalkan syari’at, pengikut aliran hulul dan ittihad (manunggaling kawulo gusti).

Di tengah kelompok-kelompok itu, Ahlussunnah Wal Jama’ah kental dengan kelompok moderasi. Moderat atau wasathiyah, yang menurut as-Syathibi merupakan karakter kebanyakan hukum syari’at. Tengah dalam arti antara menyulitkan (tasydid) dan memudahkan (takhfif). Kebanyakan hukum syari’at berkarakter moderat, tidak mudah secara mutlak dan tidak sulit secara mutlak (la ‘ala muthlaq al-takhfif wa la ‘ala muthlaq al-tasydid).

Seperti dalam Q.S al-Baqarah ayat 143 yang artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil.” Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Ashari al-Qurtubi (w. 671 H/1273 M), pakar tafsir asal Cordova menjelaskan “Makna ayat tersebut adalah sebagaimana Ka’bah merupakan tengah bumi (ayat sebelumnya membicarakan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam dalam sholat), demikian pula Kami jadikan kalian sebagai umat yang adil atau tengah-tengah… “Al-wasath adalah adil. Hal ini berdasarkan pemahaman, bahwa sesuatu yang paling baik adalah tengah-tengahnya.”

Karakter moderat Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan karakter Islam murni, seperti diajarkan Nabi Muhammad SAW. Sejarah membuktikan, umat Nabi Muhammad SAW sejak kurun pertama hingga saat ini, selalu berada di garis moderat.

Dalam konteks ke-NU-an dan keindonesiaan, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari berikhtiar pula menempuh jalur moderasi ini. Bersama kolega-koleganya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari berhasil mempelopori berdirinya organisasi NU yang secara legal berhaluan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dipresentasikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidzi.

Dalam Anggaran Dasar (AD) NU Bab IV pasal 5 disebutkan, “Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu dari madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.” Doktrin dalam AD NU tersebut tidak lepas dari pemikiran pendirinya, KH Hasyim Asy’ari. Baginya, penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem rasionalis (Mu’tazilah) dengan ekstrem literalis/atsariyah (Salafi/Wahabi).

Dalam menyikapi persoalan, NU menggunakan metode pemikiran dengan lima cara, yaitu: pemikiram moderat (fikrah tawassuthiyah), pemikiran toleran (fikrah tasamuhiyah), pemikiran reformatif (fikrah islahiyah), pemikiran dinamis (fikrah tathawuriyah), dan pemikiran metodologis (fikrah manhajiyah).

Sedangkan, Rais ‘Aam PBNU (2015-2020), KH. Dr. (HC) Ma’ruf Amin menjelaskan, salah satu karakter NU itu dinamis (tathawwuri), bukan tekstualis dan tidak liberalis, tapi metodologis (manhaji). Menurutnya, NU mengakomodasi tradisi selagi tidak bertentangan dengan nash. NU tidak seperti Salafi-Wahabi yang tekstualis, dan tidak seperti kelompok takfiri yang radikalis, tidak seperti liberal yang mengubah-ubah nash. (Wawancara, Khazanah Aswaja).

Oleh karena itu sejak pendiriannya, NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, akan selalu konsisten dan komitmen terhadap haluan Islam moderat, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah.


*Tim Redaksi Tebuireng Online

Editor/Publisher:  M. Abror Rosyidin