Oleh: Ma’muri Santoso*
Bagi masyarakat tanah air, khususnya warga nahdliyyin, bulan Desember dikenang sebagai bulan Gus Dur. Hal tersebut karena tokoh besar pejuang demokrasi dan pluralisme KH. Abdurrahman Wahid wafat di bulan Desember, tepatnya pada 30 Desember 2009. Banyak predikat disematkan pada sosok Gus Dur, mulai dari Presiden ke-4 RI, bapak bangsa, pejuang demokrasi dan HAM, tokoh pluralisme, pahlawan kemanusiaan, hingga pengayom bagi semua golongan. Terlebih perhatiannya yang demikian besar pada kelompok minoritas di negeri ini.
Gus Dur telah meninggalkan banyak warisan penting bagi negeri ini untuk dijadikan modal berharga bagi bangsa dalam menghadapi setiap tantangan kebhinekaan. Ajaran Gus Dur akan selalu relevan untuk dijadikan teladan bagi segenap warga bangsa. Gus Dur secara konsisten memperjuangkan pluralisme, bagaimana anak negeri ini mesti menjaga dan merawat bangsanya dengan anugerah kebhinekaan, mulai dari agama, suku, ras, bahasa, budaya dan sebagainya.
Gus Dur kecil tumbuh dalam kultur pesantren. Sebuah tempat dengan nuansa penuh kesederhanaan, toleransi, serta praktik beragama yang sangat menghargai budaya nusantara. Perilaku beragama yang lebih menekankan pada substansi nilai-nilai agama dari pada simbol-simbol formalitas agama. Gus Dur tumbuh besar dengan pengembaraan keilmuan yang begitu luas.
Cucu pendiri NU ini telah mewariskan kepada kita tentang cara berislam rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan bingkai keindonesiaan. Agama yang menghadirkan perilaku saling mengasihi sesama umat manusia, tanpa harus membedakan suku, agama, ras, etnis, bahasa, budaya dan sebagainya.
Gus Dur juga dikenang dengan komitmennya yang demikian besar dalam melindungi serta mengayomi kelompok minoritas. Golongan yang terkadang rentan mendapatkan perlakuan tidak adil karena keberadaannya merupakan bagian kecil dalam sebuah komunitas. Dalam prinsip Gus Dur, kaum minoritas tetap harus mendapatkan perlakuan yang sama dan adil dalam setiap aspek kehidupan.
Sebagai pejuang demokrasi, sikap Gus Dur selalu konsisten dalam memperjuangkan kesetaraan bagi setiap warga negara, baik dalam aspek politik maupun hukum. Gus Dur membuka lebar-lebar ruang dialog dengan siapapun. Disamping itu, sikap Gus Dur yang seringkali turun langsung dalam sebuah aksi unjuk rasa demi menyuarakan aspirasi menunjukkan bahwa Gus Dur sedang mengajarkan kepada kita semua tentang pentingnya melakukan pembelaan bila ada hak-hak rakyat yang dilanggar, baik oleh kelompok orang maupun oleh negara. Gus Dur tidak pernah memikirkan resiko dari setiap perjuangan yang ia lakukan. Selama apa yang diyakininya benar maka Gus Dur akan terus memperjuangkannya tanpa kenal lelah.
Sebagai tokoh pejuang pluralisme, Gus Dur dengan gigih memperjuangkan terciptanya persatuan di antara elemen bangsa di tengah-tengah fakta kemajemukan yang ada. Gus Dur menjalin persahabatan dengan siapapun dengan tidak membatasi sekat-sekat perbedaan agama, suku, etnis maupun lainnya. Gus Dur rajin mendatangi pemeluk agama lain maupun tempat ibadahnya demi menjalin persatuan walau sikapnya tersebut seringkali mendapat penentangan dari sebagian kelompok masyarakat.
Gus Dur telah mengajarkan kepada kita bahwa bergaul erat dengan kelompok agama lain tidak akan mengurangi tingkat keimanan seseorang terhadap ajaran agamanya. Justru hal tersebut merupakan bagian dari mengamalkan ajaran agama, yakni menjalin persatuan dalam upaya mewujudkan perdamaian.
Disamping itu Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang kaya akan humor. Dalam berbagai kesempatan beliau selalu menyelipkan humor-humor segar. Ungkapan “Gitu aja kok repot” begitu membekas di hati rakyat hingga saat ini. Tentu saja ungkapan tersebut muncul bukan karena menyepelekan setiap persoalan yang sedang dihadapi melainkan sebuah sikap untuk menyikapi persoalan sebesar apapun menjadi lebih sederhana.
Dengan ungkapan tersebut Gus Dur mengajarkan kepada kita bahwa sebesar apapun persoalan yang sedang kita hadapi pasti akan ada solusi bila kita terus memperjuangkannya. Ungkapan itu juga menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada sesuatu yang harus dipertaruhkan secara mati-matian hanya karena urusan duniawi seperti jabatan dan sebagainya. Yang mahal harganya bagi bangsa ini adalah persatuan. Siapapun tidak boleh mengorbankan persatuan hanya demi meraih materi, pengaruh maupun jabatan.
Spirit ajaran Gus Dur tentang penghargaan yang demikian besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang selalu dicontohkan sendiri dalam kehidupannya penting dijadikan teladan bagi kita semua. Praktik menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi humanisme, sebuah sikap untuk saling mengasihi, menghormati, menghargai, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gus Dur menunjukkan kepada kita bahwa karakter asli masyarakat nusantara adalah sikap yang ramah terhadap kemanusiaan. Sikap yang mesti kita jaga dan rawat sebagai modal penting dan berharga bagi bangsa dalam membangun dan memajukan negeri ini.
*Santri PP. Al Aqobah dan PP. Tebuireng Jombang, Instruktur Nasional Jatman PBNU.