Aku Hendak Pindah Rumah karya Aan Mansyur

“Aku hendak pindah rumah. Aku cari negeri yang penduduknya suka mencaci hidup sendiri –dan orang lain; negeri yang tidak memiliki penjara dan polisi bagi mereka yang memaki jika bicara.” Tulis penyair asal Makassar, M. Aan Mansyur.  

Dalam sebuah buku antologi puisi yang ia beri judul “Aku Hendak Pindah Rumah”, dirinya mencoba mengutarakan segala yang ada di isi kepalanya, gejolak hatinya, dan realitas sosial yang ia saksikan. Puisi-puisinya yang singkat, syarat makna, dan penuh kata, membuat saya jatuh cinta dan selalu menunggu karya-karya berikutnya. Semoga kemudian saya mampu meneladani beliau dalam menulis dengan begitu baik dan bijak.

Di halaman 50, puisi berjudul “sahabat-sahabat ibu” jarum, pisau, gunting, cermin; sejak ayah pergi dari rumah, ibu bersahabat dengan benda-benda tajam. Luka sejatinya hanya bisa dirasakan, tidak didefinisikan apalagi digambarkan, tetapi dengan puisi Aan Mansyur, luka telah melampaui tiga hal itu.

Sebagai pembaca saya merasakan getaran dan kelu yang sampai ke dada, paham betul suasana mencekam seperti apa, dan mampu memposisikan bagaimana dengan derita perempuan bernama ibu yang (sudah) kehilangan kehidupannya.

Benar kata orang, puisi dan sastra (secara universal) selalu mampu menyampaikan apapun dengan lebih lembut dan indah, sekali pun itu adalah luka. Tidak hanya soal perasaan, masalah keluarga atau kemanusiaan, puisi Aan juga menyentuh hal-hal lain seperti satire pada kebudayaan, politik, kondisi negara, bangsa, bahkan apa yang luput dari humanisme manusia.  

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Senyuman Ibu

usiaku baru tiba di angka empat saat bus itu berhenti di

depan rumah & pergi membawa lambaian tangan ayah.

ibu mengenakan senyuman. pasti ia sedang bahagia, maka

kukenakan juga senyuman.

 

aku ingin selalu bahagia bersama ibu.

 

aku telah jauh meninggalkan usia empat. bus itu tidak pernah

kembali, juga ayah & seluruh buah tangan yang ia janjikan. aku

telah menanggalkan senyuman, namun ibu masih mengenakan

senyuman yang sama.

 

apakah ibu tetap bahagia?

 

“aku selalu menanti. dia pasti akan kembali. aku tidak ingin

berhenti yakin,” katanya sambil membetulkan letak senyuman. (hlm.57)

 

Mencari Tubuh Ayah

dari pintu kuak setengah

ibu melambaikan tangan

& tertunduk menjatuhkan

mata pada lantai

 

mata itu tumbuh jadi laut-

seluruh pantainya muara.

 

suatu waktu kelak, ayahmu

kembali dibawa lekuk kelok kali.

aku akan menerimanya seluruh

meski telah daun hanyut lupa dahan,

atau sampah, atau apa pun namanya,

katanya.

aku berenang berhari-hari

tetapi laut luas & buas sekali.

semua pulau yang kudatangi

tidak menyimpan tubuh ayah.

 

aku memanjat punggung gunung-

gunung tetapi setiap tangga menuju

arah yang salah.

 

ibu masih menunggu di atas doa-doa

& uban-ubannya rontok satu per satu:

kayu bakar memanaskan tungku tanah

agar kami tetap kuat. (hlm.68)

Dua puisi di atas adalah salah dua dari puluhan puisi Aan Mansyur dalam buku bercover warna orange bercampur kuning itu. Puisi yang mengabadikan sebuah situasi yang tak baik-baik saja dalam sebuah keluarga, terutama penghuni utamanya yaitu suami-istri atau di sini disebut ibu dan ayah.

Sebagai pembaca, saya tidak tahu pasti apakah ini kisah nyata penulis, kisah orang sekitar, atau hasil amatan, yang penting bagi pembaca adalah memahami betapa hal-hal yang begini perlu ditulis sebagai pelajaran dan pembelajaran.

mimpi buruk selalu

tiba sebelum aku tidur

usai menutup pintu

& memadamkan mata

lampu, ada yang datang

 

menyalakan masa

lampau. (hlm15)

Suatu hal yang pelik pada yang sederhana; sebelum tidur pun, segalanya bisa dipuisikan, dengan penuh makna. Rasanya, kiranya introspeksi diri dengan bahasa ilmiah begitu sangat membosankan dan jlimet, namun kehadiran puisi atau sastra secara umum, telah membuat beberapa hal tampak lebih mudah, indah, dan tenang; meski itu persoalan luka sekali pun. Namun puisi telah meng-cover dengan cukup baik sehingga hal-hal pelik dan sederhana itu sama-sama bisa mudah diterima sama diri kita yang (memang) sedang tidak baik-baik saja.

Buku ini telah menjadi teman perjalanan panjang, Madura – Jombang – Yogyakarta. Buku yang sangat asyik menemani perenungan, kesendirian, dalam keramaian pun, potongan-potongan bait puisi Aan Mansyur rasanya masuk ke segala hal, ruang, usia, perasaan. Bagi saya, puisi tak lagi tersekat oleh jenis kelamin, usia, atau bahkan agama.

Puisi yang memiliki banyak jalan menuju puisi bisa menembus ranah mana saja, politik, budaya, pendidikan, humanism, bahkan pemikiran. Dan buku ini adalah salah satu buku puisi yang cukup berhasil menyentuh lini-lini tersebut.


Judul Buku                  : Aku Hendak Pindah Rumah

Penulis                        : Aan Mansyur

Penerbit                       : jbs Yogyakarta

Tahun Terbit                : 2021

Tebal Halaman            : 86 hlm

Isbn                             : 978-623-7904-30-4

Peresensi                      : Rara Zarary (asal Sumenep Madura)