Jamaah Jumat rahimakumullah.
Banyak hal di dunia ini yang bisa kita jadikan sebagai bahan renungan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Allah telah memberikan berbagai tanda kekuasaan-Nya melalui alam semesta ini. Bahkan di dalam diri kita pun terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, kita patut untuk bersyukur kepada Allah bahwa alam semesta ini bergerak secara sistematis sehingga itu semua memudahkan kita untuk senantiasa beradaptasi dengan alam dunia.
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Allah telah berfirman dalam QS. Al-Nisa’ ayat 100 :
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا.
Artinya :
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya dia mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut terkait dengan cara memetik keimanan para sahabat Muhajirin yang tangguh. Meskipun hijrah amatlah berat, tetapi karena didasari dengan keimanan keimanan yang kuat, maka semua menjadi ringan dan berakhir nikmat. Sebenarnya, keimanan itu misteri, keimanan itu tidak tampak. Akan tetapi, iman itu akan tampak tatkala dibungkus dengan busana amal perbuatan dan bukti nyata. Dengan begitu, benarlah pernyataan bahwa iman itu diyakini di dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Dimensi tampak dan tidak tampak menjadi kesatuan iman.
Kita bisa mengambil contoh yang paling sederhana bahwa jika beberapa orang tidur di malam hari, kita tidak mengetahui mana yang beriman, mana yang tidak beriman, dan mana yang setengah beriman. Begitu azan Subuh berkumandang, di situlah baru kita ketahui mana yang beriman, mana yang tidak beriman, dan mana yang setengah beriman. Mereka yang beriman, pasti kumandang azan tersebut bisa menembus pendengaran telinganya, kemudian diterima dengan kesadarannya dengan hati yang lapang, dengan senang hati. Dia mendengar seruan azan tersebut dan selalu dengan senang hati bergegas memenuhi panggilan tersebut. Sementara itu, yang pura-pura tidak mendengar, malah memperbaiki selimut dan menikmati tidurnya. Itu merupakan pertanda bahwa keimanannya belum mapan.
Begitu juga ketika ada dua orang yang sedang bermain catur. Permainan tersebut dalam kondisi lagi tegang-tegangnya. Tiba-tiba, ada azan berkumandang dari pengeras suara di masjid. Pada saat dua orang itu sedang bermain catur, tidak diketahui mana yang benar-benar beriman karena sama memikirkan permainannya masing-masing. Begitu ada panggilan azan, orang yang beriman pasti peduli dengan panggilan tersebut. Sementara itu, orang yang keimanannya masih tipis justru tidak memedulikan jika azan telah berkumandang.
Kita sudah mengetahui bahwa keimanan yang sempurna adalah keimanan yang memberi manfaat. Ketika kita perhatikan syariat Islam, seluruhnya memberi manfaat dan seluruhnya nikmat. Orang itu bisa menikmati manisnya iman (halawatul iman) ketika sudah mencicipinya. Jadi, ibadah itu baru terasa nikmat, enak, segar, dan nyaman tatkala sudah dilakukan.
Coba tanyakanlah kepada orang yang rajin bertahajud setiap malam, bagaimana rasanya ketika berlama-lama di hadapan Allah dan bersimpuh di hadapan-Nya! Tanyakan bagaimana rasanya berada di atas hamparan sajadah dalam keadaan beristigfar dan menumpahkan seluruh persoalan hidup di hadapan Allah! Hal itu diumpamakan seperti anak kecil yang mempunyai masalah, kemudian ditumpahkan kepada orangtuanya. Pastilah dia merasa lega. Namun demikian, hanya orang yang sering-sering melaksanakan tahajud yang bisa mencicipinya.
Contoh lain, jika ingin mengetahui nikmatnya shalat Subuh, coba tanyakanlah kepada orang yang biasa melakukan jamaah shalat Subuh! Begitu pulang melaksanakan shalat Subuh secara berjamaah di masjid, hatinya terasa cerah seiring fajar menyingsing. Itulah yang dimaksud halawatul iman atau manisnya iman. Syariat atau keimanan tersebut memberikan efek manfaat, bahkan ada faidah kerja sosial yang bagus.
Cobalah kita melihat pelanggaran di dalam syariat! Tentunya, banyak yang dikonsentrasikan terhadap kerja sosial. Misal, ada kafarat dan diyat. Mari kita mengambil contoh sebuah pelanggaran syariat. Hukum bagi orang yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan adalah denda dengan kerja sosial. Jadi, keimanan itu diarahkan pada kerja sosial yang baik.
Dengan demikian, salah satu tanda keimanan itu adalah rasa malu. Sebagaimana perempuan yang beriman, dia akan malu jika dia membuka auratnya. Karena dia malu, dia pun selalu menutupi anggota tubuhnya agar auratnya tidak terlihat oleh mata orang lain. Seseorang yang beriman pun seharusnya akan lebih merasa malu ketika melakukan hal negatif, meninggalkan shalat berjamaah, meninggalkan amalan-amalan sunnah apalagi sampai meninggalkan kewajibannya, dan lain sebagainya.
Bahkan dalam perihal keimanan itu akan terjadi kenaikan pangkat, yakni menuju pangkat yang lebih tinggi. Orang yang mempunyai keimanan tingkat tinggi tersebut akan mempunyai akses berita-berita langit dari Allah, mempunyai hubungan yang begitu jelas, dan proyeksi yang bagus. Semakin tinggi pangkat imannya, maka semakin tinggi pula dia bisa berkonsultasi kepada Allah sehingga mempunyai akses berita-berita langit dari Allah.
Salah satu akses keimanan yang berpangkat tinggi itu pernah dibuktikan oleh Sayyidina Umar bin Khatab Ra. Ketika beliau sedang berkhotbah, tiba-tiba wajahnya berubah menengadah ke arah langit sambil berteriak “al-jabala…al-jabala….”. Al-jabala artinya bukit. Hal itu merupakan sebuah instruksi agar menetap di atas bukit. Sebagian peserta khotbah bingung dan sebagian yang lain mengetahui bahwa Sayyidina Umar seperti mengomando pasukan perang yang telah berkumpul.
Memang benar bahwa pada saat itu pasukan Islam sedang bertempur di Afrika. Selang beberapa waktu, pasukan Islam itu pulang. Mereka berkata, “Alhamdulillah, pada saat itu kami berada dalam situasi kocar-kacir, kami hampir kalah. Tiba-tiba kami mendengar Khalifah Umar memberi komando ‘al-jabala…al-jabala….’, memberi instruksi agar kami selalu di atas bukit. Lantas dengan komando itu kami selalu bersiaga di atas bukit dan perlahan-lahan kami bisa menghantam musuh mundur sehingga kami memperoleh kemenangan.”
Demikianlah contoh dari pangkat keimanan yang telah mencapai tingkat tinggi yang dibuktikan oleh Sayyidina Umar bin Khatthab Ra. Kita bisa meneladaninya jika kita memang benar-benar menghendaki untuk menuju pangkat keimanan yang lebih tinggi.
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah.
Dari keterangan dan berbagai contoh di atas, semoga bisa menjadi gambaran bagi kita untuk meraih manisnya keimanan. Untuk itu, marilah kita semakin mempertebal keimanan kita dan semakin meningkatkan kualitas keimanan kita dengan senantiasa beramal saleh, beribadah dengan istikamah, menunaikan kewajiban-kewajiban, dan melakukan perbuatan-perbuatan sunah. Lebih dari itu, marilah kita senantiasa menghindari dan menjauhi segala macam perbuatan maksiat yang justru bisa mengikis kualitas keimanan kita. Mudah-mudahan, keimanan kita semakin hari semakin meningkat. Amiin.