tebuireng.online®- Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren melakukan pembahasan atas adanya insiatif penetapan Hari Santri Nasional (HSN). Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Makruf Amin menegaskan bahwa penetapan hari santri penting karena merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap peran ulama dan santri.

“Penetapan hari santri itu berarti ada pengakuan terhadap peran santri, tentu saja peran ulama, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan. Itu yang penting,” demikian penegasan KH. Makruf Amin saat menjadi pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) Pendidik dan Kependidikan Keagamaan dengan tema “Hari Santri dalam Perspektif Lembaga Keagamaan”, Bogor, Kamis (23/04) seperti dilansir oleh situs kemenag.go.id.

Menurut Kiai Makruf, penanaman rasa cinta tanah air sudah ditanamkan sejak dulu kepada para santri di lingkungan pesantren. Bahkan, lanjut Kiai Makruf, di pesantren dikenal ungkapan hubbul wathan minal Iman. “Intinya cinta Tanah Air itu termasuk dari pada iman. Itu penanaman yang hidup di dalam pesantren,” jelas Kiai Makruf.

“Oleh karena itu, para ulama mengajarkan kita untuk mencintai Tanah Air dan merasa memiliki. Kalau orang jawa istilahnya handarbeni negara,” tambahnya.

Kiai Makruf menggarisbawahi bahwa semangat membela tanah air yang diyakini para ulama dan santri bahkan terus dipegang erat ketika Indonesia merdeka. Ini ditunjukan ketika proses pembahasan dasar negara, demi kemaslahatan yang lebih luas, para ulama dan santri mau berkompromi untuk tidak menjadikan negaranya sebagai negara Islam. “Jika ulama ingin negara ini negara Islam, tentu tidak akan terbentuk NKRI,” tegasnya. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Disinggung mengenai waktu yang akan ditetapkan sebagai hari santri, Kiai Makruf mengaku tidak mempunyai pilihan tertentu. “Bagi saya tanggal tidak penting, yang penting ada hari santri, perlu ada ittifak,” tegasnya.

Namun demikian, Kiai Makruf mengingatkan para peserta FGD dengan dua momentum besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Momentum yang pertama adalah tahapan perjuangan yang oleh Sartono Kartodirjo disebut sebagai kebangkitan agama (religious revival).

Momentum kedua adalah Resolusi Jihad. Menurut Kiai Makruf, Kebangkitan Nasional tidak serta merta muncul, tapi ada prolognya berupa proses kebangkitan ulama. Dari proses itu, lahirlah apa yang kita sebut dengan fatwa jihad yang kemudian menjadi Resolusi Jihad yang memberikan dorongan kepada para santri dan ulama berjuang melawan penjajahan.

Kiai Makruf membuka ruang pertimbangan untuk penetapan  hari santri, apakah akan mengambil momentum Resolusi Jihad, atau ditarik ke belakang ketika terjadi kebangkitan awal. “Tentang hari itu tinggal dipilih saja. Ada beberapa momentum: Resolusi Jihad atau momentum ketika terjadi gerakan yang oleh Sartono disebut sebagai kebangkitan agama. Semua menggambarkan bahwa itu perjuangan dan pergerakan para ulama dan santri di Indonesia,” tutupnya.

Sekjen Pengurus Pusat Muhammadiyah KH. Abdul Mu’thi menggarisbawahi pentingnya momentum itu untuk mempersatukan umat Islam, bukan memperlemah ukhuwah umat Islam.

“Kalau HSN ini pada akhirnya ditetapkan, maka hal itu harus menjadi hari yang mempersatukan umat Islam, bukan memperlemah ukhuwah umat Islam,” ungkapnya yang turut menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut.

Asisten Deputy Bidang Dukungan Kebijakan Kementerian, Setneg RI, Muhammad Hamidi Hidayat mengatakan bahwa Hari Santri Nasional (HSN) bisa ditetapkan  jika sudah disepakati bersama, termasuk mengenai tanggalnya.

“HSN masih dimungkinkan untuk ditetapkan, setelah disepakati bersama oleh stakeholders, termasuk mengenai tanggalnya,” tegas Hamidi saat menjadi narasumber pada acara tersebut.

Untuk itu, Hamidi menyarankan agar para steakholders terkait pengusulan HSN ini bisa melakukan pembahasan telebih dahulu di tingkat Kementerian Agama. Hamidi berharap FGD kali ini dapat menyepakati tentang perlu tidaknya penetapan HSN; dan kalau perlu, tanggal berapa yang paling tepat untuk ditetapkan sebagai HSN.

FGD ini diikuti oleh 90 orang terdiri dari beberapa unsur dari  Pimpinan Lembaga Keagamaan dan Pesantren, Ormas, dan akademisi. Narasumber yang hadir antara lain: Dirjen Pendidikan Islam, Ketum PBNU, Sekjen PP Muhammadiyah, serta Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). (aldo)