
Jl. Anyelir
Suatu musim yang lenggang
telah mengantar mereka menuju
ke kampung ini, ke jalan ini—jalan
yang senantiasa menghiasi ruang mata
tatkala mereka melewati:
rumah-rumah warga,
tempat-tempat kursusan,
rental sepeda pancal,
warung-warung makan,
kafe kecil-kecilan,
pertokoan, kos-kosan,
masjid, pondok,
serta perpustakaan tua;
tempat bermuseum buku & kitab
milik Kiai Ahmad Yazid
—guru Mr. Kalend Osen
&
di jalan inilah,
di jalan inilah kampung kita
dahulu bermula
Pare, 2023
Jl. Flamboyan
Kepada mereka semua “segankah apabila kita kemudian menyapa?” Kepada pedagang-pedagang yang mendasar di sekitaran rumah warga, kepada muda-mudi berpakaian lurik Jawa dengan percakapan-percakapan bahasa Inggris-nya, atau, kepada siapa saja yang tengah beraktivitas—lantaran di jalan Flamboyan, semua saling lalu-lalang di saat kita melintas. Tapi di jalan Flamboyan, sama sekali tak kita temukan semacam gundukan-gundukan, yang direbahkan di sepanjang jalan—dibiarkannya beberapa polisi tidur berbaring nyaman dipeluk aspal. Barangkali, warga hendak isyaratkan, supaya para pengendara tak mendadak bergelinjangan di atas laju kendaraan mereka: maka, sebagaimana menyusuri jalan kehidupan, di jalan Flamboyan, kita musti melaju pelan-pelan!
Pare, 2023
Jl. Cempaka
: Kampung Arab
Barangkali, di pertigaan timur ini,
kita tengah diibaratkan umpama kafilah
yang menziarah di jazirah Timur Tengah
masuk ke barat, kita lihat:
sebuah masjid bersanding makam
(seperti sepasang pengantin surga)
seakan mengumandangkan tanya:
“Bahasa Arab kah yang kaukenakan pada lidah
umpama kauziarah di jazirah Timur Tengah?”
di kampung ini, bahasa itu disulam
dari benang-benang gramatikal,
dari kata-kata yang tinggal di halaman kamus
dan memintal makna kehidupan. Maka,
terus ke barat, kita lihat:
segerombol akhwat bergamis hitam bagai
burung gagak tampak mengubur pandangan ke
dalam kelopak, sedang segerombol ikhwan tengah
berjalan seolah akan menuju bukit persembahan
Tapi di kampung ini (seperti yang kita mengerti)
mereka tak membawa satu pun semacam gaman—
entah tambang, atau parang!
“Hanya niat dan tekad, yang kuasa
menjerat dan menyembelih kemalasan”
sebagaimana Adam, di kampung ini, mereka mulai
pandai menamai benda-benda,
menyatakan segala
yang masih gelap di kepala
dengan terang kata-kata—mengungkap
dengan lengkap
dengan bahasa Arab
Sebelum kemudian,
sampai di barat, kita lihat:
mereka berjajar penuh khidmat di sepanjang
jalan Kampung Arab—berjalan menyusuri
tangga-tangga suara yang mereka lantunkan,
bersama kata-kata yang mereka susun
melalui lisan. Dan kita yang menyaksikan,
seolah ingin menjadi bagian
dari setiap langkah dan pijakan,
langkah dan pijakan!
Pare, 2024
Jl. Sakura
Bagaimana jadinya apabila
di sepanjang jalan kampung kita ini
ditumbuhi bunga-bunga dari negeri Jepun:
“Apakah kita akan mengenakan Kimono?”
motif bunga-bunga yang tertenun padanya
membikin kupu-kupu begitu gemas
mengerubungi kita. Barangkali,
kupu-kupu itu membayangkan di tubuh kita
terdapat sehamparan taman, yang
ditumbuhi bunga-bunga Sakura menawan
Tapi
di sepanjang jalan ini, justru kita dapat temui
Pelancong yang mengerubungi kampung kita—
datang dari berbagai kampung nun jauh sana
Di sini,
harum bahasa menguar bagaikan nektar;
Setia memikat Pelancong yang tualang
Pare, 2023
Jl. Kemuning
Manakala sinaran mentari menyalakan siang,
lanskap persawahan menghamparkan diri dari
area selatan, demi menggusur kesejukan angin
agar mendiami di sepanjang jalan Kemuning—
jalan pintas menuju dukuh Singgahan, di mana 3
tikungannya menyembunyikan kisah orang-orang
yang saling bersitatap manakala bersimpangan
Pare, 2024
Penulis: Dzikron Rachmadi
*Lahir & tinggal di Pare, Kabupaten Kediri. Beberapa puisinya telah dimuat di media online & buku antologi puisi lomba. ID Instagram @_dzikroch.