Seorang santri Pesantren Tebuireng membaca Majalah Tebuireng di Perpus Pesantren dan di sampaingnya ada buku Belajar dari Realitas karya KH. Salahuddin Wahid pengasuh pesantren antrian buku untuk dibaca selanjutnya.

Oleh: Yuniar Indra Yahya*

Sejak dulu sudah masyhur bangsa Indonesia dinilai oleh masyarakat global memiliki daya baca yang rendah. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, kita mendapati ketimpangan skor minat baca. Data Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achivermen) di Asia Timur tahun 2008 menyatakan bahwa, tingkat minat baca anak-anak terendah dipegang oleh Indonesia dengan skor 51,7. Menyusul Filipina 52,6, Thailand 65,1, Singapura 74,0, dan Hongkong 75,5.[1]

Ada pula sebuah penelitian yang mengatakan bahwa minat baca warga Indonesia masih di angka 0,001%, itu artinya dari 1000 orang Indonesia hanya 1 yang berminat baca tinggi. Jika di Indonesia ada sekitar 260.000.000 jiwa, maka peminat baca tinggi hanya 260.000 jiwa.[2] Apalagi ketika dibandingkan dengan Finlandia, Austria, Belanda, Kanada, Selandia Baru dan sebagainya, maka ketimpangan itu sangat terlihat.

Kondisi minat baca yang kurang—seperti dijelaskan di atas—juga terjadi pada lingkungan Pesantren Tebuireng. Bisa dibuktikan jika melihat perpustakaan Tebuireng yang setiap hari pemustakanya tidak lebih dari hitungan jari. Padahal jumlah santri Tebuireng sendiri lebih dari 2000 orang. Pengunjung perpustakaan cukup ramai di hari Jumat, ketika santri libur sekolah. Tapi, kondisi tersebut tidak bisa dititikberatkan pada santri yang kurang minat membaca. Jam buka yang bertepatan dengan waktu sekolah santri turut mempersulit waktu baca mereka. Sehingga ketika santri pulang sekolah, perpustakaan sudah tutup. Seharusnya, jaga perpustakaan bisa lebih lama lagi. Sebagai bentuk perawatan intelektual para santri.

Dampak rendahnya minat baca dapat ditunjukkan oleh kuantitas penerbitan buku. Di wilayah ASEAN Indonesia jumlah penerbitan buku masih tertinggal, yaitu hanya sebanyak 6000 judul per tahun. Sementara Malaysia 10.000 judul, Singapura 12.000 judul.[3] Hal itu, selain karena memang biaya penerbitan cukup mahal—mengutip surat kabar daring kompasiana tanggal 25 Maret,  2017, Tareq Albana mencatat hal itu berbeda dengan Al-Azhar yang memberikan subsidi terhadap percetakan dan toko buku di Kairo—juga dikarenakan tingkat baca yang rendah. Sebab untuk menulis dengan baik seseorang tidak mungkin bisa lepas dari kebiasaan membaca.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebenarnya, fasilitas atau ketersediaan bahan bacaan di Indonesia sangat tinggi. Mengutip berita kompas.com tanggal 4 Juli, 2019, Hendra Setyawan mengungkap bahwa perpustakaan di Indonesia adalah yang terbanyak kedua di dunia, dengan jumlah 164.610. Sementara posisi pertama ditempati oleh India yang memiliki 323.605 perpustakaan.

Apalagi di era digital saat ini, banyak buku dapat dibeli. Meski begitu, menurut analisa Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) jumlah tersebut masih belum ideal jika dibandingkan dengan banyak kabupaten/kota di Indonesia.  Mengacu pada standar UNESCO, minimal setiap orang  membaca 3 buku baru tiap tahunnya. Namun, di Indonesia 1 buku ditunggu 5000 orang. Sebab terbitan buku baru di sini hanya 60.000 eksemplar per-tahun, sedangkan jumlah penduduknya 250 juta.

Apalagi saat ini bacaan apa pun dapat diakses melalui genggaman tangan. Seorang agamawan Islam dapat mengakses referensi klasik melalui aplikasi Islamic Library, Maktabah Syamilah, dan lain sebagainya. Pecandu novel tak perlu susah payah membeli cerita fiktif di toko buku karena wattpad menyediakan cerita secara cuma-cuma. Sebagian e-buku di perpustakaan nasional juga boleh dipinjam  bergiliran melalui i-pusnas. Akademisi tak perlu susah payah mengunjungi perpustakaan sebuah universitas untuk menggali artikel ilmiah, sebab google cendikia menyediakannya dengan kompleks. Pegiat manuskrip juga tak harus membuka manuskrip yang tersimpan ketika melakukan studi filologi, karena dreamsea meyediakan manuskrip digital dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, pengguna samsung mendapat kiriman koran gratis tiap harinya lewat S Lime.

Menggelorakan Menulis Buku Harian

Ketersediaan bahan baca yang masif harus diikuti dengan daya baca yang juga masif. Akan menjadi ketimpangan ketika era “tsunami informasi” saat ini tidak diimbangi dengan daya baca yang tinggi. Sebab manusia digital seperti yang dialami generasi saat ini mudah kaget, gampang digiring opininya, jika minat bacanya tidak memadai. Hal tersebut akan mengakibatkan seseorang mudah menanggapi suatu masalah, meskipun tanpa kajian yang komprehensif. Apalagi jika seseorang tersebut penikmat social media, sudah dapat dipastikan dia “sumbu pendek”. Sudah daya bacanya rendah, opininya gampang digiring masyarakat medsos pula.

Menangapi hal di atas, langkah awal sebagai bentuk penjagaan kebiasaan baca tulis, bisa dengan membudayakan kepada masyarakat  agar terbiasa menulis catatan harian. Tampaknya hal itu cukup efektif untuk memantik kebiasaan menulis dan membaca (mengamati) kondisi sekitar, baik yang dialami maupun diindra. Dibuktikan oleh pengalaman penulis ketika masih menginjak Madrasah Tsanawiyah kelas 1, salah satu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia memberikan tugas kepada siswa untuk menulis kegiatan sehari-hari mereka selama satu minggu. Dalam seminggu minimal setiap siswa dapat menuliskan diary-nya sejumlah lima halaman buku tulis. Jujur, meskipun waktu yang diberikan sangat lama dan batas tulisannya cukup sedikit, penulis dan kawan-kawan lain merasa sangat kesulitan menyusun kata-kata. Hal itu ditengarai karena beberapa sebab, 1) penulis saat itu kekurangan diksi dalam otaknya, hingga mempersulit gerakan tangannya untuk menulis, 2) penulis tidak pernah menabung diksi ke dalam pikirannya dengan banyak mengonsumsi bacaan, 3) penulis kurang mampu membaca keadaan sekitar.

Dibanding teman penulis yang sejak Sekolah Dasar mempunyai kebiasaan membaca, penulis kalah lihai dalam menyusun buku harian. Ia bisa dengan cepat menulis tugas yang diberikan, bahkan sampai melebihi batas minimalnya. Dari situ, penulis menyadari bahwa tabungan diksi dalam rongga kepala harus diisi dengan bahan bacaan. Semakin banyak tabungan semakin mudah ketika nanti dipecah jadi tulisan. Dari situ dapat dipahami bawah keterampilan menulis erat kaitannya dengan keterampilan membaca. “Seseorang tidak mampu menulis dengan baik tanpa adanya ide.  Dan ide-ide akan bermunculan ketika ia aktif membaca” (Retno Kurniawati, 145).

Di Jepang menulis buku harian menjadi salah satu model pembelajaran, namanya Enikki. Menurut Mitsubishi Asian Children’s Enniki Festa, Enniki adalah sebuah ilustrasi buku harian yang menggambarkan tentang kejadian dan ide-ide dalam keseharian dalam bentuk gambar yang ditambahkan dengan sebuah tulisan pendek.[4]  Dalam Enikki seseorang membuat gambar mengenai apa yang dilihat, dirasakan, dan dipikirkan, lalu ditambah deskripsi singkat tentang gambar itu. Di sisi lain seseorang dapat mengungkapkan perasaannya melalui tulisan yang bersifat pribadi. Sehingga tingkat stres yang dialami akan menurun.

Memang menulis dapat menjadi salah satu hal yang sangat penting. Lebih dari pada itu, menulis juga dapat mengubah dunia. Penulis paham bahwa hitam di atas putih dapat mengubah dunia ketika mengingat film Death Note. Kisahnya menceritakan seorang penemu buku catatan “Death Note” bernama Light Yagami yang memberikannya kekuatan untuk membunuh siapapun yang dicatat di buku itu. Light bercita-cita mengubah dunia menjadi komunitas utopia dunia tanpa kejahatan. Dengan cara membunuh manusia-manusia yang hanya menjadi perusuh.

Mereka yang Terbiasa Menulis Catatan

Apakah menulis dapat mengubah dunia itu hanya fiktif belaka seperti yang disebutkan dalam paragraf di atas mengenai “Death Note”?. Tentu tidak. Banyak tokoh-tokoh yang menulis catatan harian mengenai buah pikirannya, apa yang ditemui, dilihat, atau kritik terhadap agama, pemerintah dan sebagainya.

Soe Hok Gie

Salah satunya Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia dengan jurusan Sastra. Catatan harian yang dimuat dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” dimulai dari 4 Maret 1957 hingga 8 Desember 1969. Salah satu kritiknya terhadap Orde Lama yakni, mengenai kebijakan Soekarno yang mementingkan pendirian tugu dan istana sebagai bentuk eksistensi kemerdekaan Indonesia. Ia menganggap yang paling penting saat itu adalah pabrik, jalan, pendidikan, dan moral.[5] Ia  menulis harapan dan cita-citanya terhadap Orde Baru agar mengembangkan dan memperkuat keadilan sosial tertera dalam catatan hariannya.

Ide dan pemikiran Soe Hok Gie memang mudah sekali meracuni pembacanya, seperti kata Harsja W. Bachtiar dalam pengantarnya, “Jarang ada pembaca yang tidak terpengaruh oleh tulisannya.” Aksi-aksinya bersama para mahasiswa lain banyak mengecam habis-habisan pemerintahan Soekarno. Disebabkan kekecewaan mereka atas kecamuk politik antara kubu PNI dan PKI dalam kabinet Burhanudin Harahap (Daniel Dhakidae, 1989). Dari aksi-aksinya menjadi bukti peranan Soe Hok Gie dalam usaha menegakkan Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto tidak kecil. Sampai saat ini pemikiran-pemikiran Soe banyak dikutip oleh para mahasiswa.

Ibnu Batutah

Sejarah Islam juga mencatat penjelajah muslim, yakni Ibnu Batutah. Ia merupakan muslim asal Thanji (Tangier) Maroko. Cendekiawan dengan nama asli Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim ini mencatat penjelajahannya ke berbagai penjuru dunia. Lama perjalanannya sampai 29 tahun, mulai dari Mesir, Suriah, Jazirah Arab, Afrika Timur, Asia Tengah, Rusia Barat, India, Cina, Spanyol, dan Sudan. Peta perjalanannya bisa dilihat dalam buku Rihlah ibn Bathutah, Dar al-Fikr.

Rihlah ibn Bathuta, atau dengan nama asli Tuhfah al-Nadhar fi Ghara’ib al-Amsar wa ‘Ajaib al-Asfar merupakan buku harian Ibn Bathuta mengenai kondisi negara atau wilayah yang sedang ia singgahi. Model catatan yang beliau gunakan memang betul-betul buku harian. Di dalamnya tertulis tanggal, hari, bulan, tahun, serta apa yang dialami. Penggunaan kata ganti orang pertama “Aku” juga digunakan Ibn Bathuta ketika menuliskannya, mirip dengan buku harian yang sering kita jumpai.

Deskripsi yang digambarkannya mengenai kota yang disinggahi sangat lengkap, mulai dari keadaan sosial masyarakat, pemerintahan, kondisi geografis, hingga ekonomi. Satu contoh yang dipaparkan Risa Herdahita Putri dalam historia.id tanggal 19 Desember 2018, Ibnu Bathuta menggambarkan Samudra Pasai—yang disebut Ibnu Bathuta dengan pulau Jawa—merupakan tanah yang kaya akan kelapa, palem, cengkeh, gaharu, pepaya dan kapur barus.

Dari lawatan yang Ibnu Bathuta yang tercatat, para sejarawan akhirnya terbantu menyusun puzzle waktu lampau di masa kini. Kita bisa menikmati gambaran sejarah dengan diary book beliau. Pun dengan catatan Soe Hok Gie tentang aktivitas demonstrasinya melawan Orde Lama. Para aktivis saat ini bisa meniru atau menukil usaha-usaha yang dituangkan dalam catatannya.

Berbagai contoh tentang mereka yang terbiasa menulis catatan harian, setidaknya dapat direnungkan bahwa menulis buku harian adalah bagian dari menggambar sejarah. Mereka mampu menyusun catatan harian karena tak lepas dari pembacaan terhadap sekitar. Demikian halnya mereka yang terampil menulis buku/karya tulis tak mungkin lepas dari luas buku bacaannya. Dari sini, akhirnya kita tahu bahwa menulis buku harian (diary) adalah upaya awal untuk merangsang pembacaan—terutama keadaan diri sendiri atau sekitar—sebelum akhirnya menjurus kepada pembacaan hasil karya tulis (buku). Apalagi di era saat ini merupakan era digital yang mudah sekali soal akses baca tulis non-fisik.


[1] Rina Setyawatira, “Kondisi Minat Baca di Indonesia,” Media Pustakawan Vol.16 No. 1&2 (2009), 28. 11 September 2021. <https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/904>

[2] Yuniar Indra, “Meneladani Literasi Mahasiswa Era Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah sebagai Pendobrak Peradaban,” Lomba Menulis Esai PMII Komisariat Hasyim Asy’ari (2019).

[3] Ibid

[4] I. Zainab, G.B. Jaya, L. P. Artini, “Meningkatkan Keterampilan Menulis Peserta Didik Melalui Whatsapp Diary Writing,” Indonesia Gender and Sociaty Journal, Vol.1 No.2, (2020), 62. 18 September 2021. <https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/IGSJ/article/view/39082>

[5] Soe Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran. (Jakarta: LP3ES, 1989).


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari