Sumber gambar: www.vebma.com

Oleh: Al lail*

“Ummu, kemarilah, nak!” pinta ayah di ujung sana.

Segera aku berjalan menuju ke arahnya. Aku terus berjalan hingga lelah kaki melangkah. Tapi aku heran, mengapa aku tak sampai juga ke arahnya. Di ujung manakah itu? Mengapa terang sekali? Dan mengapa di sisi-sisiku begitu gelap? kecuali titik di mana tempat ayahku berdiri.

Saat aku mencoba menggapai tangannya, aku tak bisa, berkali-kali kucoba tapi tetap sama. Dan akhirnya, akupun menangis tersungkur di atas tanah sambil memanggil, “ayah, ayah,..” aku melihat ia yang sepertinya juga hendak ke arahku, tapi kakinya seperti tertahan oleh sesuatu. Tanpa kusadari ada seorang perempuan cantik yang mengulurkan tangannya kepadaku, memintaku berdiri dan berjalan di belakangnya, lalu aku diantar olehnya menuju di mana ayahku berdiri.

Aku merasa jalanku lebih cepat daripada tadi. Sampai di depan ayah, tiba-tiba ia merangkulku erat sekali, seperti hendak mau pergi jauh. Aku sudah tidak kuasa menahan air mataku lagi. Tak lama setelah itu, ia pun melepaskan pelukannya dan melangkah pergi. Aku berteriak memanggilnya, “ayaaaaahh…” tapi sedikitpun ia tak menoleh ke arahku, ia melangkah semakin jauh dan tak terlihat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Ummu, Ummu, Ummu, bangun, nak! Kamu dijemput sama tante,”

“Ayah,” teriakku yang ternyata hanya mimpi. Tapi, mengapa aku dijemput? Ada apa ini? Apa yang terjadi di rumah? Perasaanku pun berkecamuk tak keruan.

“Ayah kenapa tante?” tanyaku pada tante yang tanpa kusadari sudah berada di sampingku.

“Hmm.. sudah, siap-siap aja ya,” katanya yang membuatku heran.

Aku segera membasuh muka dan bersiap-siap. Tapi sebentar! Aku merasakan sesuatu yang tidak enak. Aku tiba-tiba teringat mimpiku tadi. Ayah, semoga kau baik-baik saja ya. Batinku menenangkan pikiranku yang sedang kacau.

Aku segera pamit kepada ustadzah kamarku dan tanpa banyak kata, aku bersama tante langsung turun ke pos satpam yang ternyata di sana sudah ada sanak saudaraku yang hendak ke Lumajang (rumah ayahku). Melihat raut wajah mereka, mengapa tampak sendu sekali? Ah, mimpiku tidak boleh terjadi.

Pukul tiga dini hari, kami pun berangkat ke Lumajang. Sepanjang perjalanan enam jam dari Jombang ke Lumajang. Semua tampak diam, sesekali mereka mengajakku berbicara, dan aku hanya menjawab sekenanya saja. Tampak dari luar kaca jendela mobil aku memandang jalanan yang sedikit lengang, langit juga tak secerah biasanya. Di mana sang mentari pagi? Padahal ini sudah hampir pukul sembilan.

Semakin dekat dengan rumah, semakin kacau pula hatiku ketika melihat bendera kuning pertanda kematian yang ditancapkan di atas pagar rumahku. Orang-orang juga ramai di depan sana. Aku mencoba tenang, mengatakan semua baik-baik saja pada hatiku yang sudah hancur lebur. Tidak, ini tidak baik! Bagaimana tidak? Saat aku turun dari mobil, ibu langsung memelukku erat sekali, bahunya bergetar, kakak dan adikku pun juga begitu. Semua memelukku dalam keadaan sendu. Saat aku bertanya, “ayah mana bu?” tak ada jawaban, melainkan tangis yang kudengar. Sedangkan air mataku sudah berjatuhan bersama pelukan mereka.

“Kak, aku ingin ke makam ayah,” kataku pada kakakku.

“Ayo dek. Ibu, Lina sama Ummu pergi ke makam ya bu,” izin kakakku pada ibu.

“Iya Lin,” jawab ibu mempersilakan.

Sampai di pemakaman. Aku hanya memandang gundukan tanah yang bertaburan bunga mawar. Kini sang mentariku telah kembali, berpulang ke haribaanNya. Ayah, kudoakan kau mendapat tempat yang paling indah di sana. Tanpamu, semoga aku dapat melewati hujan di bulan Maret ini dengan kuat.


*Penulis adalah santri di Pondok Putri Pesantren Tebuireng Jombang.