Oleh: Ibnu Ubai*

Siapa yang tidak tahu makna dari poligami. Poligami atau bisa disebut menikah lebih dari satu istri ini masih marak diperbincangkan di Indonesia bahkan sampai viral di medsos. Lantas bagaimana pandangan Islam tentang berpoligami? Apakah diperbolehkan, atau malah sebaliknya. Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 3:

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُوا۟ فِی ٱلۡیَتَـٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ فَوَ حِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۚ ذَ لِكَ أَدۡنَىٰۤ أَلَّا تَعُولُوا۟

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,maka (nikahilah) seorang saja,atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Di Indonesia, banyak pro dan kontra dalam memaknai poligami. Menariknya, sekarang marak para praktisi mengajak secara terang-terangan dalam berpoligami. Bahkan, para aktivis poligami ini menjadi bahan kajian keislaman. Jika ditinjau, ada benang merah yang bisa kita ambil dalam persoalan poligami ini, terbagi menjadi empat sudut pandang yang berbeda.

Pertama, dari segi filosofis, bahwa poligami adalah bentuk perintah dan syari’at dalam ajaran agama Islam. Sebab ia melegitimasi dalam menafsirkan ayat al-Quran, dan kemudian diamalkan tanpa melihat pendapat yang benar menurut para ahli tafsir. Kemudian ia praktikkan secara bangga dan bahkan sampai dipublikasikan.

Kedua, poligami itu bukan produk ajaran Islam dan bukan berasal dari Islam. Dalam hal arti, hanya untuk membuka cara pandang berpikir manusia dalam menyebarkan agama Islam di Arab pada masa Nabi. Yang paling menonjol adalah keadilan terhadap seorang perempuan sebagai sesama makhluk bukan sebagai alat pemuas diri.

Ketiga, mengganggap bahwa negara seharusnya berpartisipasi dalam kasus praktik poligami, karena poligami adalah suatu bentuk universal yang menyangkut beberapa aspek. Seperti hubungan sosial masyarakat bahkan menyangkut persoalan yang bersifat privasi keluarga dan suami istri. Hal ini yang menyebabkan tidak ada rasa keadilan terhadap perempuan yang selama ini tersubbordinasi oleh sistem patriarki.

Keempat, poligami hanya bisa dilakukan terhadap anak yatim dan janda, bukan terhadap wanita yang bukan anak yatim dan sudah menikah (gadis). Perspekstif mereka bahwa selain kedua kategori di atas adalah suatu kesalahan yang mendasar. Tujuan mereka tak lain hanya ingin melindungi perempuan yang masih perawan dan menjaga kerhomatan wanita.

Poligami dalam Hukum Islam

Dalam Islam, sebenarnya perkawinan adalah suatu yang bersifat monogami. Seperti yang bisa dipahami dalam surat An-Nisa ayat 3. Allah memberikan ruang dan waktu bagi seorang yang ingin berpoligami maksimal 4 orang, akan tetapi harus diikutkan dengan syarat-syarat tertentu. Allah Swt memperbolehkan berpoligami, “jika kamu takut dan cemas tidak akan berdapat berlaku adil, maka kawinilah satu perempuan saja”.

Firman Allah dalam surat An-nisa ayat 3 tersebut selalu dipahami sebagai dasar kebolehan berpoligami. Dalam ayat tersebut untuk kebolehan berpoligami hanya dipersyaratkan adil. Hal ini dapat dipahami secara kontradiktif dari mafhum ayat yang jika diungkapkan secara lengkap akan menjadi “jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”.

Meskipun pada dasarnya poligami dihukumi mubah, akan tetapi poligami juga bisa berubah hukum menjadi sunnah atau makruh, bahkan sampai juga dihukumi haram. Hal ini juga berdasarkan keadaan seseorang yang akan poligami, di antaranya:

Jika seorang laki-laki membutuhkan istri yang lain misalnya disebabkan sang istri sakit-sakitan, atau istrinya mandul padahal lelaki itu ingin punya keturunan serta dia merasa mampu untuk berbuat adil kepada istri-istrinya maka poligami hukumnya sunnah baginya.

Sedangkan jika tujuan poligami bukan disebabkan perkara lain akan tetapi sekedar meraih kenikmatan dan bersenag-senang serta masih diragukan  tentang sifat adil di antara istri-istrinya. Maka poligami dihukumi makruh dikarenakan tidak ada kepentingan seperti memperbaiki keuturunan.[1]

Menolak Poligami juga Tindakan Qurani

Jika seksama kita membaca dalam QS. Surat An-Nisa ayat 3:

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Dan dalam QS. Surat An-nisa ayat 129-130:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا (١٢٩) وَاِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّٰهُ كُلًّا مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَكَانَ اللّٰهُ وَاسِعًا حَكِيْمًا (١٣٠)

Artinya: Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari keluasan (karunia)-Nya. Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (QS. An Nisa: 129-130)

Maka kita akan menemukan kalimat tegas dan jelas bahwa seseorang boleh atau bisa wajib menolak poligami. Di ayat ke-3 surah An-Nisa, ada ungkapan yang jelas, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Lebih khusus lagi pada an-Nisa ayat 130, bagi perempuan yang tidak menerima atau tidak siap dipoligami, karena satu alasan, yang diminta al-Quran bukan bersabar, tetapi boleh bercerai. Jika perempuan memilih bercerai karena poligami, al-Quran bahkan menjajikan keluasan rizki dari Allah swt.

Kemudian ada pilihan untuk bercerai ini datang setalah ayat QS. al-Nisa 129 tentang peringatan kepada laki-laki untuk berbuat adil dalam poligami. Sayangnya kebanyakan orang justru menjajikan surga kepada para perempuan yang menerima dipoligami, sehingga didoktrin untuk bersabar dan menerima apapun yang terjadi.

Menolak Poligami juga Sunah Nabi Saw

Perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk berada pada pernikahan yang sehat, baik, dan membahagiakan. Jika pernikahan membuat seorang perempuan mengalami keburukan, apalagi kekerasan, ia punya hak untuk mengajukan cerai.

Konsep khuluk dalam hadis dan fikih adalah solusi untuk persoalan ini. Fikih membolehkan seorang perempuan membuat syarat sebelum akad nikah kepada suami untuk tidak dipoligami. Artinya, perempuan boleh menolak poligami dan memilih monogami, menikah atau memilih melajang daripada berada dalam pernikahan yang tidak sehat.

Dalam shahih Bukhori disebutkan, seorang ayah boleh membela putrinya agar diperlakukan secara baik, tanpa dipoligami (bab dzabb al-Rajul ‘an Ibnatihi fi al-Ghirah wa al-Insaf). Sebagaimana Nabi Saw mendukung Sayyidah Fatimah r.a. menolak dipoligami suaminya. bahkan dalam hadisnya Nabi saw mengulang kalimatnya: “Aku tidak mengizinkan” sebanyak tiga kali, karena poligami menyakiti putri beliau, dan yang menyakiti beliau juga berarti menyakiti Nabi Saw.:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ ثُمَّ لَا آذَنُ ثُمَّ لَا آذَنُ إِلَّا أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا هَكَذَا قَالَ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] Telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Abu Mulaikah] dari [Al Miswar bin Makhramah] ia berkata; AKu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sedangkan beliau berada di atas mimbar: “Sesungguhnya bani Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku agar aku menikahkan anak wanita mereka dengan Ali bin Abu Thalib, namun aku tidak mengizinkan kepada mereka, kecuali jika Ali bin Abu Thalib menceraikan anakku lalu menikahi anak wanita mereka. Sesungguhnya anakku (Fathimah) adalah bagian dariku, aku merasa senang dengan apa saja yang menyenangkannya dan aku merasa tersakiti atas semua yang menyakitinya.”

Hadis ini menegaskan bahwa laki-laki (Nabi Saw) boleh menolak poligami, perempuan juga juga (putri Nabi Saw) boleh menolak poligami. Siapapun berhak untuk terbebas dari pernikahan yang menyakitkan, terutama perempuan. Artinya menolak poligami karena menyakitkan adalah juga sunnah Nabi Saw.

[1] Fiqh Al-Manhaj Ala Madhab Imam Syafi’i, juz 4 hal. 35. Cetakan Darl Qalam littholabah wannasri wattawjiyq damaskus.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari