Tebuireng.online- “Bangsa Indonesia punya tugas yang berat. Pertama, terorisme. Kedua, sparatisme,” ungkap bapak Ali Fauzi Manzi, M.Pd.I., mantan Kepala Instruktur Perakitan bom Jama’ah Islamiyah, pada seminar yang diadakan oleh BEM Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, Kamis (03/10/19).

Beliau sekarang aktif sebagai dosen serta berkecimpung di Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah lembaga yang menjadi tempat taubatnya para teroris atau tempat rehabilitasi. “Kembali Merajut Hidup dari Lingkaran Bom menuju Lingkar Perdamaian”, Bapak Ali Fauzi Manzi menceritakan kisah hidupnya, dari yang bakat merakit bom hingga menjadi tempat rehabilitasi para teroris.

Indonesia pernah gencar-gencarnya peledakan bom, dari mulai bom Bali hingga bom pasutri. “Mereka melakukan istimata’/istihad, dianggap bom syahid, yang mati lalu masuk surga” papar beliau. “Bom Pasutri pada 2019 menewaskan 32 orang dan 105 luka parah, di Filipina, dilakukan oleh orang Indonesia,” tuturnya.

Bom yang berbentuk ikat pinggang dan rompi berhasil meloloskan aksi para teroris. Ali Fauzi Manzi, Ali Gufron, Amrozi dan Ali Imron merupakan rangkaian bersaudara. “Ali Imron, beliau yang mendesain pemicu ledakan, menjadi terpidana seumur hidup. Sekarang sudah proses pertaubatan, bahkan membantu Polri, namun masih dalam tahanan,” papar pria yang memiliki enam anak itu.

Ali Fauzi Manzi juga menceritakan teror yang terjadi dari tahun 2000 hingga 2019. Terorisme masih menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Telah terjadi lebih dari 310 aksi teror selama hampir 20 tahun. “Dulu yang siap aksi dan siap mati hanya lelaki. Sekarang perempuan, anak dan istri,” ucap beliau. “Ini mengerikan, tahun 2016 sampai 2019 yang mengkhawatirkan justru istri-istri mereka,” tambahnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terorisme bukan produk instan. Terorisme berangkat dari sebuah produk dari keputusan yang singkat tetapi hasil dari proses yang panjang yang perlahan-lahan mendorong seseorang. Adapun metode penyebarannya meliputi pemicu berikut, mereka overload dalam memahami agama, terkontaminasi paham Khawarij, banyak yang hafal Qur’an tetapi berlebih-lebihan dalam beragama.

Padahal dalam beragama kita tidak diperbolehkan berlebih-lebihan. Dan tidak boleh kurang juga. Jadi ditengah-tengah saja, yang pas. “Konsep yang dikembangkan NU sudah pas,” selanya diikuti gurau tawa.

Penyebarannya dapat melalui buku-buku, risalah dari penjara, video profokatif, majalah, media atau online, media sosial seperti instragram, facebook, twitter, dan website, institusi pendidikan, program rihlah, kemah dan lain sebagainya. Ciri-ciri dan faham tak bisa dilihat dari penampilan, stereotip seperti jenggot dan celana cingkrang, bisa keliru. Identifikasi via pemikiran dan ajaran yang perlu dimengerti, seperti faham-faham yang mirip dengan salafy, tetapi punya perbedaan dan beberapa ajaran yaitu tauhid hakimiyah, jihad hanya bermakna perang, jihad hukumnya fardhu a’in, irhabiyah/teror dibenarkan, demokrasi kalau kafir pelakuknya, boleh memberontak terhadap penguasa yang zalim.

Hal tersebut kerap disebut penyakit komplikasi. Di Indonesia level komplikasi butuh pencegahan khusus dan penanganan yang serius. Kemudian perbincangan dilanjutkan oleh pak Mif Rohim selaku rektor tiga menegaskan bahwasanya sebagai mahasiswa kita harus mampu menyaring ajaran yang ada. Karena dewasa ini ada saja yang hanya mengutip dalil dari al-Qur’an terjemah, yang langsung terjemahan dari bahasa Arab. “Bagaimana kita harus mempertahankan ideologi ini,” pungkas beliau.


Pewarta: Umdah

Publisher: MSA