Sebuah ilustrasi dakwah melalui media digital. (sumber: aqlpeduli)

Disadari secara penuh kecenderungan masyarakat Indonesia terhadap pengunaan media sosial disebabkan kemajuan dalam bidang revolusi industri menjadikan Information Communication and Technology (ICT) sebagai sebuah komoditi yang tidak dapat dinafikan lagi keberadaannya. Kemajuan teknologi menghantarkan berbagai kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan dengan waktu yang cepat.

Penggunaan smartphone yang hampir dimiliki oleh seluruh kalangan di masyarakat membuat masyarakat dapat dengan mudah mengakses internet, sehingga dengan itu berbagai informasi pun akan dengan mudah didapatkan sesuai dengan kebutuhan. Didorong dengan penggunaan internet, memicu muncul dan berkembangnya situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Whatsapp, dan sebagainya.

Penggunaan situs-situs tersebut dikenal dan digandrungi oleh segala usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua, pun diminati oleh setiap kalangan baik itu pekerja, kaum intelektual, ibu rumah tangga, sampai pada pelajar di sekolah.

Media sosial juga menjadi sumber primer yang digunakan sebagai referensi informasi tentang agama. Maraknya penggunaan media sosial belakangan ini memberikan dampak positif dan negatif bagi seseorang khususnya dalam mempelajari agama. Media sosial dapat memanjakan seseorang yang seiring kemajuan teknologi, menuntut segala sesuatu serba cepat dan instan.

Dampak positif yang ditimbulkannya adalah kemudahan akses yang membuat seseorang semakin tertarik untuk mempelajari Islam. Ketika menemukan suatu permasalahan keagamaan, sudah barang tentu mereka membuka media sosial untuk mencari solusi atas permasalahan yang dimiliki karena hal tersebut merupakan solusi paling cepat, di samping itu dengan seringnya mempelajari agama melalui media sosial seseorang akan merasa pemahamannya tentang agama menjadi lebih banyak dan lebih sempurna dari sebelumnya, hal ini juga menjadikan aktifitas sehari-harinya lebih baik dan sesuai dengan tuntutan agama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Dakwah Era Milenial: Mengamalkan Dakwah Berbasis Maqashid Syariah

Salah satu media yang banyak diminati oleh para masyarakat untuk belajar agama adalah media Youtube Menurut penelitian yang dilakukan oleh We Are Social dan Hotsuite, bahwasanya pengguna internet di Indonesia sendiri dengan rentan usia 16 sampai 64 tahun mencapai 202,6 juta hingga januari 2021. Di satu sisi jumlah pengguna media sosial mencapai pada angka 170 juta. Youtube berhasil menjadi media sosial yang sangat populer dikarenakan diakses sebanyak 93,8% dai keseluruhan jumlah pengguna media sosial yang ada. Hal ini mengatarkan Youtube menjadi media sosial yang sangat efektif karena mampu mengjangkau ratusan juta penonton di Indonesia.

Beberapa nama da’i kondang baik secara personal atau kelompok memanfaatkan media Youtube ini untuk media dakwah menyiarkan pesan-pesan agama Islam.  Seperti, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, Gus Baha, Pak Fahruddin Faiz, Buya Yahya dan Guru Gembul. Mereka-mereka semua telah memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk berdakwah dengan gaya khasnya masing-masing melalui media sosial Youtube. Sehingga masyarakat dapat  menikmati belajar atau mengaji ke mereka semua tanpa harus datang ke lokasi.

Selain para pendakwah yang memang sudah memiliki keilmuan dibidangnya masing-masing sesuai dengan standar agama, juga munculah beberapa orang yang medakwahkan agama Islam melalui platfom media sosial, yang mana mereka ini bukanlah dari kalangan seorang agamawa, dai, atau bahkan ustadz. Mereka hanya orang-orang yang memiliki pengikut banyak di media sosial, atau biasa disebut dengan “influencer”. Secara pengertian influencer adalah orang yang memiliki pengaruh besar di media sosial dan dapat memengaruhi perilaku pengikutnya. Influencer dapat menjadi sumber inspirasi, baik dalam hal gaya hidup, kesehatan, dan lainnya.

Berangkat dari memiliki banyaknya pengikut di media sosial, umunya influencer sudah berani memberikan tentang kajian-kajian agama di media sosial dan diikuti apa yang disampaikan oleh para pengikutnya. Fenomena ini menguai pro dan kontra hingga muncullah anggapan, apakah fenomena dakwah para influencer, akan membawa anugerah atau justru petaka?

Dalam memahami hal ini, perlu dikaji secara keseluruhan, artinya tidak berat sebelah. Bila kita memandang aspek anugrah, pada akhirnya bahwa para influencer ini secara tidak langsung membantu syiar agama Islam ke masyarakat luas, khususnya masyarakat-masyarakat yang berada di perkotaan, atau biasa disebut dengan masyarakat urban. Dengan kehadiran para influencer yang berdakwah mereka bisa lebih mudah mengakses pembelajaran agama di tengah-tengah kesibukannya seperti bekerja dan lain sebagainya.

Selain memberikan akses kemudahan untuk memahami nilai-nilai agama masyarakat perkotaan, para influencer ini juga menggunakan pendekatan yang modern kepada para masyarakat perkotaan yang mudah untuk dipahami dalam dakwahnya. Gaya dakwah ini tidak dimiliki oleh para dai atau para ustadz-ustadz yang di kampung. Karena pada dasarnya dakwah mereka juga lebih mengena kepada kultur kebudayaan masyarakat desa setempat.

Di tengah-tengah kemudahaan yang diberikan oleh para influencer dalam berdakwah di media sosial, ada satu hal yang perlu diperhatikan, yakni mengenai  kedalaman ilmu agama mereka. Karena seringkali ditemukan para influencer ini, salah dalam menyampaikan pesan agama, seperti salah memberikan statement, mengutip ayat al-qur’an atau hadis dan lain sebagainya.

Terkait statement ini yang pada akhirnya berdampak dari salah pahamnya masyarkat menganai suatu persoalan agama, para influencer rasa-rasanya harus memperdalam ilmu agama lagi agar tidak menjadi sebuah kesesatan dalam memberikan pemahaman. Di sisi lain, tidak sedikit juga para influencer, dalam dakwahnya hanya diisi dengan persoalan-persoalan mengenai cinta-cinta ala anak muda.

Baca Juga: Dakwah adalah Misi Utama Para Nabi dan Rasul

Pada tahap tertentu dari isi materi dakwahnya yang seperti itu, menimbulkan sebuah pertayaan, apaka ini benar-benar kajian keagamaan atau sekedar seminar yang membahas persoalan percintaan saja? Apalagi belum ditambah dengan ajakan-ajakan seputar pernikahan muda kepada para remaja dengan alih-alih menghindari zina.

Hal-hal di atas seakan-akan tidak memberikan gambaran yang tepat dalam berdakwah kepada para umat. Meskipun memang kita juga harus mengakui bahwa setiap madu’ (orang yang didakwahi) itu berbeda-beda tipikal, karekter dan juga ketarikan terhadap para mubaligh atau dai’

Di tengah-tengah keresahan tersebut, hal paling tepat untuk dievaluasi adalah bagaimana cara dakwah para snatri-santri yang bertahun-tahun belajar agama Islam, baik itu fan keilmuan fiqih, tauhid, tasawwuf, nahwu, hadis & al-qur’an. Rasanya para alumni santri dari berbagai pondok pesantren yang ada di Indonesia mendapatkan tantangan bagaimana mereka bisa mendapatkan ruang dakwah dan panggung di tengah-tengah masyarakat untuk bisa mendampingi spirit keagamaan masyarakat.



Penulis: Dimas Setyawan, Mahasiswa Magister UIN Sunan Ampel Surabaya.


Tulisan ini disarikan dari hasil catatan diskusi rutinan Tebuireng Online, 28 Februari 2025