Oleh: Inggar Saputra*
Seorang pakar public speaking, Tantowi Yahya berbincang dengan sahabatnya, seorang doktor Ilmu Psikologi. Tantowi berkata, ”Mengapa ada orang pintar, jabatannya tinggi, agamanya bagus tapi seringkali berkata negatif, nyinyir, dan merasa selalu benar, orang lain salah?” Sebuah pertanyaan filosofis yang seringkali kita menemukan realitasnya sekarang ini.
Sahabatnya terdiam, kemudian menjawab, ”Itu bisa terjadi karena hati yang menjadi pemimpin dalam kehidupan, bukan pikiran. Hati adalah pemimpin terbaik, pikiran adalah pembantu terbaik.” Sebuah jawaban yang menggabungkan konsep filsafat dan ilmu psikologi. Dan inilah hakikat dari kepemimpinan masa kini dan masa depan.
Kisah di atas saya kutip dari status instagram Tantowi Yahya. Sebuah percakapan intelektual yang menggambarkan realitas kekinian. Betapa banyak pemimpin bekerja menggunakan pikiran sebagai pemimpinnya, bukan hatinya. Akibatnya seringkali seorang pemimpin terjebak sesuai hawa nafsunya, semua keinginan ingin diturutinya. Tanpa berpikir baik dan buruk bagi kehidupannya.
Seorang pemimpin yang bekerja dengan pikiran, seringkali mudah ditemukan berbicara sebelum bertindak. Ketika perkataannya benar, pemimpin jenis ini mabuk pujian orang sekitarnya. Tetapi perkataannya salah, dia enggan meminta maaf dan sibuk mencari kesalahan orang lain. Suka atau tidak suka, ini banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Pemimpin yang menyibukkan dengan pikiran, akan selalu merasa benar. Sebab alam pikiran menuntun dirinya pada sebuah kenyataan dirinya yang terbaik. Jabatan publik dan keilmuan yang tinggi serta pengalaman yang luas membuatnya jatuh dalam kesombongan. Sikap ini jika dibiarkan akan menuntunnya sebagai yang paling benar, orang lain salah.
Sifat angkuh akibat kepemimpinan dengan pikiran yang berlebihan membuatnya lupa akan segalanya. Amal ibadah yang bagus dimunculkan agar dapat pujian manusia. Padahal hakikatnya ibadah adalah rahasia seorang hamba dengan Allah. Jadi baik buruknya ibadah bukan penilaian manusia, tapi Allah sebagai Tuhan yang menciptakannya.
Pemimpin yang dominan dengan pikiran juga seringkali sulit mengakui kesuksesan orang lain. Dia mudah emosi mendengar ada orang lain yang lebih cerdas memimpin dibandingkan dirinya. Seakan melupakan sebuah perkataan bijak, ”Di atas langit, masih ada langit.” Dalam bahasa Al-Qur’an ”… dan di atas setiap orang yang berpengetahuan itu ada yang lebih mengetahui.” (QS. Yusuf : 76)
Berbeda ketika hati menjadi pemimpin, sedangkan pikiran difungsikan sebagai pembantu atas kepemimpinannya. Hati cenderung kepada kebaikan, maka menurut Tantowi Yahya jika menemukan kesulitan akan dibantu pikiran. Sungguh jika hati seorang pemimpin baik, maka segala tindakan dalam kehidupan termasuk memimpin orang lain akan berada dalam koridor kebaikan.
Zulkarnain Lubis (2022) menjelaskan seorang pemimpin yang hatinya bersih, akan melihat kebaikan orang lain terlebih dahulu. Sedangkan pemimpin dengan hati kotor, akan memandang orang lain dengan keburukan lebih dahulu. Inilah pentingnya kita memimpin dengan hati, sebab dalam hati ada cinta, kasih dan sayang.
Memimpin dengan hati akan menghasilkan kepercayaan dan kejujuran. Sebab setiap tindakan akan mengacu kepada apa dampak baik buruknya terhadap diri sendiri dan orang lain. Jika hati seorang pemimpin sudah mati, maka pikiran bergerak menggantikannya dan batasan baik buruk cenderung mudah sirna.
Ketika hati menjadi pemimpin, Anda akan berusaha mengenali kekuataan dan kelemahan diri sebelum memimpin orang lain. Tipe kepemimpinan ini akan menjadi pendengar aktif dan mudah berempati ke orang lain. Mudah baginya memberikan ruang kenyamanan dan keamanan psikologis, sehingga orang lain senang menceritakan masalah kepadanya.
Jika Anda memimpin dengan hati, orang lain bekerja kepada kita atas kesamaan ide, keyakinan dan emosi yang bermakna. Suara pemimpin akan mudah didengar, karena rasa saling percaya sudah terbangun. Pengikutnya merasa dihargai pandangan, pendapat, kritikan dan keyakinannya. Sedangkan pemimpin akan mudah menerima dengan lapang dada dan tidak merasa yang paling benar dalam segala tindakannya.
Semakin tinggi jabatan, semakin luas pengetahuan, semakin banyak pengalaman dan semakin produktif amal ibadah, maka semakin rendah hati. Biarkan hati menjadi pemimpin, sebab meninggi tugasnya langit, bukan tugas manusia. Tugas manusia adalah belajar merendahkan hati, sebab dirinya hidup di muka bumi.
*Penggiat Literasi Rumah Produktif Indonesia.