ilustrasi masjid hudaibiyah. foto: wikimedia

Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna*

Terletak sejauh 26 kilometer dari Masjid al-Haram, Masjid Hudaibiyah menjadi salah satu tempat miqat untuk mengambil niat ihram saat melaksanakan haji ataupun umroh. Berbeda dengan bangunan miqat lain, seperti Masjid Tan’im dan Bir Ali. Masjid Hudaibiyah terlihat tidak terlampau luas dan hanya dapat menampung sedikit jamaah, sehingga tempat tersebut tidak sepadat dan seramai miqat makani lainnya. 

Walaupun kecil dan sederhana, tetapi masjid Hudaibiyah ini mempunyai nilai historis yang tinggi bagi perjuangan Islam di masa Rasulullah. Hal itulah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah  yang ingin melakukan wisata rohani ketika melaksanakan haji atau umroh.

Ketika menziarahi masjid Hudaibiyah saat itu, saya teringat dengan satu peristiwa bersejarah pada 14 abad yang lalu. Di tempat tersebut Rasullulah beserta orang-orang mukmin pernah mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin Quraisy untuk saling tidak menyerang, yang kemudian membuka peluang umat Islam Madinah untuk mengislamkan pendudukan kota Makkah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saat melakukan napak tilas atas perjuangan Rasulullah dan para sahabat Nabi tersebut, saya mengikuti apa yang dinasehatkan guru saya, yakni membayangkan diri saya berada di posisi para sahabat, terutama yang berasal dari kota Makkah. Bagaimana mereka bergembira dan sangat bersemangat untuk kembali melakukan umrah bersama Rasulullah.

Saya membayangkan mengenakan pakaian ihram dan berjalan bersama 1400 kaum mukminin lainnya beserta 70 unta, tetapi kemudian diberitahu di tengah jalan bahwa para pemimpin Quraisy mengirimkan pasukan untuk menghentikan rombongan Rasulullah dan tidak mengizinkan masuk ke kota Makkah meskipun niat kami tidak untuk berperang, tetapi hanya untuk melakukan ziarah.

Saya membayangkan diri saya menunggu instruksi dari Nabi Muhammad selanjutnya, namun ternyata malah diberitahu bahwa sebuah perjanjian telah dibuat antara kaum muslimin dan Quraisy di dalam ketentuan-ketentuannya itu tidak adil. Bagaimana harus kembali setelah datang jauh-jauh dari Madinah, dan diberitahu bahwa rombongan kami tidak dapat melaksanakan umrah tahun ini.

Bagaimana umat muslim harus menerima ketidakadilan atas kesepakatan tersebut, kita harus mengembalikan kepada kaum Quraisy setiap muslim yang melarikan diri dari mereka kepada kaum mukmin di Madinah, tetapi siapa pun yang pergi kepada mereka tidak akan dikembalikan. Saya juga menghadirkan perasaan para sahabat yang saat itu tentu campur aduk, antara rasa sedih, bingung, marah, kecewa dan lemas.

Melihat puing-puing bangunan bekas masjid berusia ribuan tahun di sebelah utara masjid baru itu, saya juga membayangkan di hadapan ada Sayidina Umar ibn Khattab yang mengekspresikan kemarahannya pada perjanjian tersebut, tetapi bagaimana Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq kemudian mengingatkannya untuk mempercayai kepemimpinan Nabi Muhammad yang kita cintai.

Saya kemudian membayangkan pemandangan menyedihkan yang terjadi, ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk bangun, dan menyembelih al-hadyu (hewan qurban) dan tahalul, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak melaksakan perintah tersebut. Beliau Saw mengulangi intruksinya sampai tiga kali, namun tidak ada satu pun yang merespon.

Rasulullah kemudian masuk ke tenda, menemui istrinya Ummu Salamah dan beliau menceritakan apa yang terjadi pada kaum mukminin. Dan saya membayangkan bagaimana dengan bijak Ummu Salamah menyarankan agar Nabi memulai apa yang beliau inginkan. ‘Wahai Rasulullah, keluarlah dan janganlah berbicara dengan seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih hewanmu dan mencukur rambutmu.” (HR. Bukhari)

Nabi Muhammad yang mendengar saran Ummu Salamah kemudian melakukannya, maka tentu semua shahabat berdiri dan menyembelih qurban mereka serta saling menyukur rambut satu sama lain sampai-sampai mereka hampir saling membunuh satu sama lain karenanya. Saya membayangkan bagaimana mereka kemudian sadar dan menyesal karena telah mendurhakai Nabi saw sebelumnya.

Namun tentu saja, akhir yang manis dari peristiwa tersebut adalah ketika Allah menurunkan firmanNya QS. al-Fath ayat 1 sampai 3.

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًاوَيَنصُرَكَ ٱللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا  

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kokoh (banyak).” (QS. Al-Fath [48]:1-3)

Kegembiraan dan kebahagiaan yang pasti dirasakan oleh Nabi Muhammad dan kaum mukminin setelah menerima wahyu-wahyu tersebut, betapa bersyukurnya mereka setelah mendengar kabar dari Allah langsung, bahwa peristiwa ini merupakan kemenangan yang nyata bagi orang-orang yang beriman.

Sebagaimana diriwayatkan dalam sirah an-Nabawi bahwa dampak dari perjanjian Hudaibiyah tersebut sangat banyak. Di antaranya, Rasulullah dan pasukan muslim dapat menaklukkan Bani Nadhir yang terkenal dengan bentengnya sangat kuat. Juga penaklukan banyak suku Badui dari berbagai kalangan menjadi bagian dari sekutu umat Islam.

Selain itu, selama masa gencatan senjata, Nabi bisa melakukan dakwah dengan leluasa, bahkan menyampaikan pesan Islam pada Kaisar Romawi, Raja Habasyah, Raja Mesir, dan Raja Parsi. Begitu juga dengan kaum muslim yang masih tinggal di Makkah di tengah-tengah kaum musyrikin bisa menyebarkan dakwah di wilayah mereka.

Dan yang tidak kalah dahsyat adalah Perang Mu’tah. Kemenangan bagi umat muslim yang berjumlah hanya 3000 pasukan melawan 100.000 tentara Romawi. Padahal tidak ada sejarahnya pasukan Romawi bisa dikalahkan. Ketika kabar ini terdengar sampai ke seantero jazirah Arab, banyak orang pada akhirnya berbondong-bondong memeluk Islam. Dan singkatnya, peristiwa ini merupakan awal dari kemenangan kaum mukminin dalam menaklukkan kota Makkah.

Peristiwa Hudaibiyah ini sesungguhnya memberi pelajaran kepada kita, bahwa betapa indahnya Allah mengatur berbagai hal dalam hidup, sebagaimana yang telah terjadi pada Rasulullah beserta para sahabat. Ketetapan dari Allah mungkin tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan dan kerugian yang dialami tidak selalu merupakan kemalangan, jika mereka yakin hanya kepada Rabb al-‘alamin.

Menghayati hikmah dari peristiwa bersejarah di Hudaibaiyah, kita harus yakin dan percaya pada setiap rencana Ilahi adalah kunci untuk mendapatkan kemenangan yang nyata.

Baca Juga: 9 Masjid Saksi Sejarah Perkembangan Islam Masa Rasulullah SAW

*Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al Murtadlo.