
Tebuireng.online— Dr. (HC) KH. Husein Muhammad, atau yang akrab disapa Buya Husein, Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Fikr Cirebon, adalah sosok intelektual, penulis kurang lebih 50 karya. Dalam acara bedah majalah Tebuireng edisi 94 yang berjudul “Gus Dur: Dari Santri Politisi, Hingga Wali” Buya Husein mengenang sosok Gus Dur dan membahas relevansi pemikiran beliau yang masih bisa diimplementasikan dalam kehidupan saat ini.
Buya Husein mengingat kembali momen ketika Gus Dur wafat dan beliau menjadi imam salat. Beliau teringat dua puisi yang menginspirasinya, salah satunya disampaikan Gus Dur, “ketika ibumu melahirkanmu, wahai anak Adam, ibumu menangis, sedangkan orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia. Maka berusahalah sungguh-sungguh agar ketika kau pergi, kau tersenyum, sedang mereka menangis tersedu-sedu kehilanganmu.”
Tokoh feminisme Islam ini juga mengutip pesan mendalam dari Shams Tabrizi, guru Maulana Rumi, “kematian bukanlah sesuatu yang aku gelisahkan karena kematian hanyalah masa penantian untuk pertanggungjawaban atas aktivitas di muka bumi. Yang aku gelisahkan adalah ketika aku mati, aku tidak meninggalkan sesuatu yang membuat aku tetap hidup selamanya.”
Menurut wakil ketua Puan Hayati Jakarta itu, apa yang beliau capai hari ini merupakan hasil dari membaca karya-karya para ulama terdahulu yang telah wafat. Beliau merasa, melalui karya mereka, para ulama tersebut seolah tetap hidup dan berdialog dengannya hingga kini. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya membaca sebagai kunci intelektualitas.
“Jangan biarkan hari-harimu tanpa membaca, menulis, membagi pengetahuan, dan menebarkan cinta. Itulah Gus Dur, betul-betul Gus Dur,” ujarnya.

Waktu itu, pada peringatan seribu hari wafatnya Gus Dur, Buya Husein menerbitkan buku berjudul “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur”. Buku ini diapresiasi oleh Alisa Wahid karena menjadi satu-satunya buku yang mengupas sisi sufisme Gus Dur, berbeda dari kebanyakan tulisan yang hanya membahas kebudayaan, politik, atau kebijakan.
Menurut Buya Husein, spiritualitas sufistik adalah dasar dari pemikiran dan tindakan Gus Dur. “Apa yang kita lakukan dan pikirkan adalah ekspresi dari isi hati, dari spiritualisme manusia. Gus Dur hadir di situ, dan ini tidak didapatkan secara instan, melainkan melalui proses panjang,” terangnya.
Baca Juga: Bedah Majalah Edisi Gus Dur: Dari Santri, Politisi, hingga Wali Sukses Digelar!
Pendiri Yayasan Fahmina itu menjelaskan struktur pemikiran manusia yang beliau analogikan sebagai piramida. Lapisan bawah adalah mayoritas yang memahami hukum secara sederhana dan langsung. Lapisan tengah adalah kaum intelektual yang selalu mempertanyakan alasan di balik keputusan hukum. Lapisan puncak adalah mereka yang berpikir lebih mendalam untuk apa suatu hukum diberlakukan, mencapai idealitas agama, kemanusiaan, dan kasih sayang.
“Gus Dur telah sampai pada puncak ini, melewati tahap awam, intelektual, hingga menjadi sufi,” ungkapnya.
Kenangan Buya Husein bersama Gus Dur di Kairo juga menjadi refleksi. Beliau menceritakan bahwa apa yang Gus Dur pelajari di Kairo telah di kuasai oleh Gus Dur sebelumnya, seperti Alfiyah Ibnu Malik, Jauhar Maknun, Mantiq, dan masih banyak lainnya.
“Jadi disana mengulang, saya tidak kuliah, Gus Dur, tidak kuliah tetapi kita jalan-jalan saja, jalan jalannya nongkrong di perpustakaan, di toko buku lowakan,” tambanya.
Selain itu, Buya Husein menuturkan pengalaman Gus Dur saat diadili oleh 200 kiai di pesantrennya. Dengan luar biasa, Gus Dur sudah mengetahui semua pertanyaan yang akan diajukan sebelum diberi arahan pengacara.
Baca Juga: Dirut Tebuireng Media Group Ungkap Cara Gus Dur Atasi Perbedaan Pendapat
Beliau juga mengingat momen Gus Dur dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden RI. Meski banyak pendukung ingin melakukan demonstrasi, Gus Dur melarangnya dengan berkata, “untuk apa jabatan jika hanya akan menghancurkan atau memicu perang antarsesama manusia?”
Pewarta: Ilvi Mariana
Editor: Rara Zarary