Oleh: Ahmad Faozan*

“Tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita.” Syair Hikmah Kiai Haji Wahid Hasyim.

Muhammad Hasyim atau Hasyim Wahid lahir pada 30 Oktober 1953. Beliau akrab dengan panggilan Gus Iim. Putra terakhir dari pasangan KH. Abd. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Gus Im sangat beruntung terlahir dari keluarga kiai berpengaruh.

Hanya saja, saat beliau lahir ayahnya sudah tiada. Ayahnya sendiri orang yang hebat. Baik di mata keluarga dan kebanyakan orang. Jasanya besar bagi bangsa Indonesia. Apalagi kakeknya, baik dari jalur ayah maupun ibunya. Begitupun dengan abangnya, Gus Dur dan Gus Sholah hebat semua.

Putra-putri KH. Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Solichah hebat semua di tempatnya masing-masing. Sejak kecil Gus Iim dididik langsung oleh ibunya, Nyai Solichah. Seorang perempuan pesantren yang dikenal sangat disiplin, ulet, pekerja keras, berani, dan berhasil dalam mendidik putra-putrinya menjadi orang hebat seorang diri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Cita-cita suaminya yang mengharapkan putra-putrinya ada yang menjadi kiai, insyinyur, dokter, dan lainnya berhasil diantarkan oleh Nyai Solichah. Gus Iim menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Perwari. Sebagaimana ditempuh kakak-kakanya.

Selanjutnya melanjutkan di SMP III Manggarai hingga tamat. Sekolah lanjutan atasnya ditamatkan di SMA III Setiabudi. Selain belajar di bangku sekolah, Gus Iim juga sangat gemar membaca buku apa saja.

Keluarga Kiai Wahid Hasyim memang pecinta buku. Kiai Wahid sangat berhasil menanamkan gemar dalam membaca. Tak heran, jika dari keluarga ini lahir sosok-sosok tokoh yang inspiratif dengan memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda.

Selain gemar membaca, berdiskusi, bersilaturahim, suka mengkader anak-anak muda NU, dan hal positif lainnya. Gus Iim sejak muda juga sangat mencintai sepakbola. Bahkan, sempat muncul dalam dirinya ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Dibuktikan dengan keseriusannya berlatih sepakbola.

Sayang, ibunya tak menghendaki ia menjadi pemain bola. Kenapa? Nyai Solichah khawatir kakinya patah. Beliau pun tak melanjutkan cita-citanya menjadi pemain bola profesional.

Meskipun demikian, beliau tetap gemar berbincang dunia kulit bundar seperti halnya abangnya Gus Dur dan Gus Sholah. Setamat SMA, Gus Iim melanjutkan belajarnya di bangku kuliah. Beliau di terima di kampus ternama, UI.

Beliau masuk Fakultas Psikologi. Di kampusnya ini beliau tidak bertahan lama. Beliau pindah di Jurusan Kimia, ITB Bandung. Itupun hanya satu tahun lamanya. Lantas, beliau balik lagi ke UI dengan mengambil Fakultas Ekonomi.

Lagi-lagi di sini beliau juga tak merampungkannya hingga meraih gelar sarjana. Sampai di sini, mengingatkan kita akan kisah abangnya Gus Dur yang sempat jenuh kuliah di Al Azhar lalu pindah ke Baghdad. Pun juga Gus Sholah yang sempat cuti lama di kampusnya, namun beliau berhasil sampai tamat.

Ibunda Gus Iim sangat sayang betul kepadanya. Tak jarang semasa berkuliah beliau menengok putranya yang bungsu itu. Yang kita tahu bahwa ibu Nyai Solichah memang seorang perempuan yang sangat peduli akan masalah pendidikan.

“Tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan sekolah apabila segala keperluannya telah dipenuhi”. Gus Iim gagal menjadi sarjana dan ibunya sangat kecewa saat itu. Namun, Gus Iim punya pertimbangan sendiri.

Beliau memang kalau sudah tidak suka akan suatu hal tanpa tedeng aling-aling akan mengatakannya. Dibanding saudaranya yang lain, Gus Iim lebih tertutup. Iklim belajar di kampus tidak mendukungnya.

Setelah tidak kuliah, Gus Iim ikut kakak iparnya, Hamid Baidlowi terjun ke dunia bisnis. Dunia baru yang beliau tempuh ini membuatnya sibuk dengan persoalan bisnis. Meski demikian, Gus Iim tetap masih menyempatkan diri untuk terus belajar mandiri.

Bacaan seperti Filsafat, Sastra, Ekonomi, Politik, Sains menjadi salah satu menu yang sangat diseriusi. Selain dari keseriusannya dalam membaca sejak dini membuatnya banyak mencerap banyak informasi.

Menurut sebagian kakaknya, Gus Iim lebih cerdas dibandingkan Gus Dur. Intelektualitas Gus Iim tidak ada yang meragukan. Bahasa Inggrisnya pun jangan ditanya, top tenan. Beliau juga mampu menulis dengan baik.

Pergaulannya yang luas membuat beliau memiliki banyak akses ke semua jaringan tokoh baik didalam maupun luar negeri. Hanya saja, senyap. Itulah jalan yang ditempuh olehnya.

Gus Iim sendiri aktif didunia politik. Beliau pernah menduduki sebagai salah satu Ketua PDIP. Keberadaan beliau di partai Banteng ini sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Beliau tidak bertahan lama di PDIP.

Dalam hal ini, juga sangat unik buat kita yang melihat keluarga Bani Hasyim Asy’ari. Bila Kiai Wahid pernah menjadi Ketua NU, Kiai Cholik Pendiri Partai Akui, Kiai Yusuf Hasyim pendiri PKU, Gus Dur sempat aktif di PKB, Bu Nyai Asiyah, Golkar, dan lainnya.

Semua putra-putri Kiai Wahid Hasyim mengerti politik. Sedikit banyak hampir semua pernah mencicipi dunia politik. Gus Iim juga pernah suatu kebetulan bekerja di Badan Penyehatan Perbankan Nasional, BPPN.

Kisah tersebut berawal pada tahun 1999, dimana awalnya beliau saat itu diminta untuk berbicara dengan para debitor. Karena dianggap cakap pengetahuan dan komunikasinya. Tidak disangka, tiga hari kemudian beliau disuruh kerja di BPPN sebagai staf ahli.

Banyak hal yang telah dicapainya di tempat kerjanya. Gus Iim yang terlahir sebagai cucu pendiri NU juga tak sedikit jasanya. Beliau menggarap komunitas-komunitas tertentu dan lembaga-lembaga yang ada di bawah NU. Banyak anak-anak muda NU yang beliau didik. Banyak sekali anak muda NU yang merasakan efek hasil pemikiran beliau.

Dalam hal ini, juga mengingatkan kita akan sosok Gus Dur, Gus Sholah, dan lainnya. Di mana para beliau rajin mengkader dan memberikan beasiswa kepada anak-anak muda NU yang dianggapnya cakap. Wajar, jika banyak anak muda NU yang kini telah tumbuh menjadi generasi yang kiprahnya sangat diharapkan banyak orang.

Gus Iim dianggap misteri oleh kebanyakan orang. Namun beliau juga seorang pribadi yang unik, variatif, dan kontroversial. Siapapun yang bertamu ke rumahnya akan dijamu dengan penuh kehangatan. Bangunnan konektivitasnya dengan petinggi militer, konglomerat, LSM, dan lainnya sangat kuat.

Gus Iim mampu menembus batas-batas yang kadang menurut orang tidak mungkin. Sosok Gus Iim juga bukan orang yang nampak terlihat serius terus dalam ruang diskusi ilmiah. Beliau juga suka bincang keris, musik, dan puisi.

Gus Iim membangun rumah tangga pada akhir tahun 70an, dengan seorang perempuan cantik yang bernama Tyoria Sulaiman. Pernikahannya dengan perempuan berdarah Batak-Banten ini melahirkan dua orang anak.

Pertama, Abdul Aziz. Kedua, Karimah. Di awal tahun 90an beliau berpisah secara baik dengan istrinya. Anaknya yang pertama menamatkan pendidikan di UI dan satunya di Fisip UI.

Gus Iim, njenengan sosok inspiratif. Kita para santri tentu saja sangat kehilangan. Semoga mendapatkan ampunan dan kedudukan mulia dihadapan Ilahi. Selamat berjumpa dengan sang ayah dan orang terkasihmu. Al Fatihah…

Sumber:

1. Buku Sama Tapi Berbeda, Ali Yahya, Yayasan KH. Abd. Wahid Hasyim, 2007.

2.  https://islam.nu.or.id/post/read/43322/syair-syair-hikmah-kh-wahid-hasyim-1

*Kepala Pustaka Tebuireng.