Ilustrasi beberapa perempuan belajar bersama di sebuah ruangan.

Fenomena di mana perempuan diharapkan menjadi “multitalent” atau memiliki kemampuan untuk mengelola hampir semua aspek kehidupan, termasuk pekerjaan di luar rumah dan tugas domestik, adalah cerminan dari peran gender yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Sejak dulu, banyak budaya yang memandang bahwa peran utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga yang tidak hanya merawat keluarga, tetapi juga mengelola rumah tangga secara keseluruhan.

Hal ini berbanding terbalik dengan anggapan bahwa laki-laki hanya perlu berfokus pada pekerjaan yang menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pandangan semacam ini telah mengakar kuat di masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk mengubahnya meskipun dunia sudah berubah dengan cepat.

Fenomena ini terjadi karena adanya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam peran yang lebih kompleks, seringkali multitasking, dibandingkan dengan laki-laki. Di banyak keluarga, perempuan diharapkan untuk bekerja di luar rumah dan juga menjadi pengatur urusan rumah tangga.

Misalnya, seorang wanita yang bekerja sebagai seorang profesional di kantor, tetapi pada saat yang sama, dia harus mengurus rumah, memasak, mengurus anak-anak, dan merawat anggota keluarga lainnya. Dalam beberapa kasus, beban ini bisa sangat besar, bahkan melampaui kemampuan fisik dan emosional perempuan itu sendiri.

Salah satu contoh nyata dari fenomena ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang perempuan yang bekerja penuh waktu sebagai seorang guru atau karyawan kantoran, misalnya, sering kali harus pulang ke rumah dan tetap melanjutkan pekerjaan domestik seperti memasak, membersihkan rumah, atau membantu anak-anak dengan pekerjaan rumah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di sisi lain, pasangan laki-laki yang bekerja mungkin tidak merasa berkewajiban untuk berkontribusi secara aktif dalam tugas rumah tangga karena anggapan bahwa hal tersebut adalah urusan perempuan. Bahkan dalam keluarga yang lebih modern sekalipun, di mana perempuan dan laki-laki bekerja, peran perempuan dalam mengelola rumah tangga masih sering dianggap sebagai kewajiban yang tak terbantahkan. Ketika perempuan mengungkapkan rasa lelah atau frustrasi, sering kali mereka justru mendapatkan respons yang minim, atau bahkan merasa disalahpahami.

Pola pikir yang menganggap bahwa perempuan harus dapat melakukan segala hal baik dalam pekerjaan maupun urusan rumah tangga berakar dari pemikiran patriarkal yang menganggap bahwa perempuan memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.

Pada sisi lain, laki-laki sering dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab utama untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan finansial. Pandangan semacam ini, meskipun sudah banyak berubah, masih sangat berpengaruh dalam struktur sosial di banyak tempat. Pada akhirnya, ini menyebabkan beban yang sangat besar pada perempuan yang harus membagi waktunya antara karier dan keluarga.

Fenomena ini diperparah oleh norma sosial yang sering kali menganggap bahwa laki-laki yang membantu pekerjaan rumah tangga adalah sesuatu yang luar biasa atau bahkan dianggap “tidak normal”. Banyak keluarga, terutama di lingkungan pedesaan atau yang memiliki pandangan konservatif, masih menganggap bahwa tugas rumah tangga adalah kewajiban perempuan semata.

Dalam banyak kesempatan, kita sering mendengar komentar seperti “Itu tugas istri,” atau “Suami sudah bekerja keras di luar rumah, istri yang harus mengurus semuanya.” Perubahan pola pikir yang menganggap pekerjaan domestik sebagai pekerjaan bersama, bukan hanya tanggung jawab perempuan, belum sepenuhnya diterima di banyak kalangan masyarakat.

Baca Juga: Media dan Perubahan Sosial pada Perempuan

Contoh yang sering kita temui adalah dalam lingkungan kerja, di mana seorang perempuan yang sudah menikah sering kali ditanya soal urusan rumah tangga. Misalnya, ketika dia terlihat lelah atau terlambat datang ke kantor, kolega atau bosnya mungkin bertanya, “Apa pekerjaan rumah tangga yang harus kamu urus hari ini?”

Meskipun ini terlihat seperti komentar ringan, ia mencerminkan bahwa beban kerja rumah tangga perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang “biasa” dan “harus dilakukan,” sedangkan laki-laki, meskipun bekerja, tidak pernah mendapat pertanyaan serupa. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali dibebani dengan ekspektasi untuk menjadi sempurna, mampu menjalankan tugas rumah tangga, bekerja di luar rumah, dan tetap menjaga keharmonisan keluarga.

Sementara itu, dalam banyak keluarga, laki-laki yang membantu pekerjaan rumah tangga sering kali dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Ketika seorang suami membantu memasak atau membersihkan rumah, misalnya, ia sering mendapatkan pujian atau dianggap sebagai suami yang “hebat” karena membantu meringankan beban istrinya.

Padahal, sebenarnya, ini adalah hal yang seharusnya dianggap normal, yakni berbagi tanggung jawab dengan pasangan. Tidak ada alasan mengapa pekerjaan rumah tangga hanya menjadi tanggung jawab perempuan, terutama ketika perempuan dan laki-laki bekerja di luar rumah dan berbagi beban finansial.

Edukasi kepada laki-laki sangat diperlukan untuk mengubah pandangan tersebut. Laki-laki perlu memahami bahwa berbagi pekerjaan rumah tangga bukan hanya soal meringankan beban perempuan, tetapi juga menunjukkan rasa hormat dan kesetaraan dalam hubungan. Mereka perlu menyadari bahwa tugas rumah tangga adalah pekerjaan bersama yang harus dikelola oleh kedua belah pihak. Dengan berbagi tugas, hubungan menjadi lebih seimbang, dan perempuan tidak merasa tertekan atau terbebani dengan ekspektasi sosial yang tidak realistis.

Dalam konteks ini, peran pendidikan sangat penting. Sejak dini, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan harus diajarkan tentang kesetaraan gender dan berbagi tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Anak laki-laki harus diajarkan bahwa merawat rumah dan berbagi pekerjaan domestik adalah kewajiban bersama, dan bukan hanya peran perempuan. Sementara itu, anak perempuan juga harus diajarkan bahwa mereka tidak perlu menanggung semua beban pekerjaan rumah tangga sendirian dan bahwa mereka berhak untuk mengharapkan kesetaraan dalam hubungan.

Penting untuk menormalisasi pembagian pekerjaan rumah tangga sebagai hal yang wajar dan tidak luar biasa. Ini bukan hanya untuk meringankan beban perempuan, tetapi juga untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dan lebih adil di rumah. Ketika perempuan dan laki-laki bekerja sama untuk membangun rumah tangga yang seimbang, keduanya akan merasa lebih dihargai dan lebih bahagia.

Selain itu, jika kita ingin menciptakan masyarakat yang lebih setara, kita harus mulai menumbuhkan pemahaman bahwa tugas domestik tidak boleh dianggap sebagai beban perempuan semata. Laki-laki perlu diingatkan bahwa berbagi tanggung jawab rumah tangga adalah bagian dari menciptakan keluarga yang sehat, harmonis, dan seimbang.

Tidak ada alasan mengapa peran perempuan dalam rumah tangga harus lebih besar atau lebih kompleks daripada peran laki-laki. Tugas rumah tangga adalah pekerjaan bersama, dan dalam hubungan yang sehat dan adil, kedua belah pihak harus berbagi tanggung jawab dengan cara yang seimbang. Dengan mengubah cara kita melihat peran perempuan dan laki-laki di rumah, kita bisa menciptakan dunia yang lebih setara dan lebih adil bagi semua.



Penulis: Albii