Penulis saat mengkaji Tulisan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Oleh: Fathurrahman Karyadi*

Salah satu keunikan pondok pesantren yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lain ialah, intensitasnya terhadap satu bidang keilmuan. Misalnya seperti Pesantren Krapyak Jogja terkenal dengan ilmu Al-Qura’annya, Pesantren Kasingan Rembang masyhur akan ilmu nahwunya, Pesantren Jampes kesohor ilmu Tasawufnya, dan sebagainya. Hingga kini spesialisasi keilmuan tersebut masih melekat dan bahkan terus berkembang.

Adalah Pesantren Tebuireng, yang sejak didirikan pada tahun 1899 sampai hari ini masih mempertahankan konsentrasi keilmuan dalam bidang hadits. Terbukti pengajian kitab-kitab hadits seperti al-Jami’ Shahih al-Bukhari dan Muslim masih eksis diadakan. Juga beberapa kitab hadits dan ilmu musthalah hadits masih diajarkan di pendidikan formal seperti Tsanawiyah, Aliyah, Muallimin dan Ma’had Aly—khusus di kelas ini ditambah materi takhrij al-hadits. Ini tak lain berkat keinginan sang pendiri itu sendiri, Al-Imam Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Beliau adalah salah satu ulama ahli hadits Nusantara pada zamannya.

Yang menjadi pertanyaan ialah, apa bukti dan alasan Hadratussyaikh memilih konsen pada ilmu hadits bukan yang lain? Sebuah pertanyaan yang cukup sulit menjawabnya. Namun, dengan beberapa pendekatan, penulis akan mencoba menjabarkannya.

PertamaHadratussyaikh merupakan murid dari Syaikh Muhammad Mahfudz al-Turmusy, di mana sang guru termasuk al-muhaddits (pakar hadits). Hadratussyaikh benar-benar ingin menjadi seperti gurunya dengan memperdalam ilmu hadits kepadanya. Dalam salah satu manuskrip yang ditulis Hadratussyaikh disebutkan bahwa beliau mengaji kitab Shahih Bukhari kepada Syaikh Mahfudz selama dua tahun dengan sistem sorogan (murid membaca dan guru menyimak). Lalu dilanjut dengan mengkaji kitab Shahih Muslim dan al-Muwattho’ dengan sistem bandhongan (guru menerangkan dan murid mencatat) serta kitab-kitab hadits lainnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sejauh penelusuran penulis, selain sanad Shahih al-Bukhari dan Muslim ada beberapa kitab lainnya yang beliau dapatkan ijazahnya. Di antaranya, Sunan al-Nasai, Abi Dawud, al-Turmudzi, al-Muwathha’ yang semuanya bersumber dari Syaikh Mahfudz. Sedangkan satu kitab tasawuf Al-Hikam karya Imam Ibnu ‘Athaillah beliau dapatkan ijazahnya dari Kiai Abdussyakur al-Suraby, ulama asal Surabaya yang tinggal lama di Makkah.[1]

KeduaHadratussyaikh menilai bahwa dengan mempelajari hadits berarti sekaligus mempelajari al-Quran, Fiqh dan ilmu-ilmu lainnya. Karena hadits-hadits Rasulullah SAW tak lain menerangkan isi al-Quran, menyebutkan tata cara ibadah, dasar-dasar ketauhidan, landasan akhlak dan seluruhnya. Di samping itu, dengan mempelajari hadits, banyak fadhilah atau keutamaan yang didapat.

Hadratussyaikh mengutip sebuah riwayat dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ya Allah rahmatillah orang-orang yang meneruskanku” (Disabdakan sebanyak tiga kali). Lalu para sahabat bertanya, siapa mereka itu? Nabi bersabda “Mereka adalah orang-orang yang meriwayatkan haditsku dan mengajarkannya kepada orang-orang.” Ibnu Abbas RA juga pernah berkata “Memperdalam ilmu hadits satu waktu lebih baik daripada menghidupkan malam dengan beribadah.”

Ketiga, dalam banyak karya-karyanya, menunjukkan bahwa Hadratussyaikh benar-benar ulama yang fokus akan hadits. Sebagaimana Imam Nawawi, Hadratussyaikh pun mengarang kitab Al-Arbain yang memuat 40 hadits di dalamnya. Ini merupakan tradisi ulama-ulama ahli hadits, seperti Syaikh Yasin al-Fadani yang juga mentradisikannya dengan menyusun kitab berjudul Al-Arba’un al-Buldaniyah[2]. Namun bedanya, kitab al-Arbain milik Hadratussyaikh disusun sebagai pondasi berdirinya Jamiyyah Nahdhatul Ulama. Hadits-hadits yang beliau seleksi bertemakan wasiat keagamaan, leadership, teologi, sosial dan sebagainya.

Dalam magnum opus-nya yang berjudul Adab al-‘Alim wa al-Muta’allimHadratussyaikh sebelum menjelaskan inti pembahasan terlebih dahulu menyebutkan hadits dan maqalah ulama terkait tema. Pembahasan itu memenuhi ruang hingga 24 halaman, sebuah angka yang fantastis. Begitu juga dalam Dhaw’u al-Misbah banyak hadits-hadits nikah yang beliau kutip dan semuanya cukup jarang didengar. Tak heran jika kemudian kitab itu disempurnakan oleh Gus Ishom dengan 19 bab berisi 235 hadits.

Keempat, hadits bisa menjadi solusi terbaik dalam menghadapi banyak masalah. Seperti suatu ketika, Hadratussyaikh pernah berpolemik dengan seorang kiai asal Pasuruan dalam lima persoalan agama. Kiai Abdullah bin Yasin menyusun puisi yang berisi hujatannya kepada Hadratussyaikh dan warga NU karena dinilai menyimpang, padahal pihaknyalah yang menyimpang dari ajaran Ahlissunnah wal Jama’ah. Kiai itu menulis kitab Ittihaf al-Saildan Hadratussyaikh menyusun kitab jawaban Ziyadah al-Ta’liqat. Nah, dalam menghadapi adu mulut itu, Hadratussyaikh memulainya dengan sebuah hadits Rasulullah sebagai “lampu kuning” agar sesama muslim tidak perlu berdebat panjang bahkan bermusuhan (Ziyadah Ta’liqat, hal.14). Alhamdulillah, Ma’had Aly Telah Resmi Formal

Melalui hadits itu, Hadratussyaikh mengambil jalan toleransi dan sadar harus bersikap bijak. Seandainya beliau tidak menggunakan hadits itu sebagai jawaban, kemungkinan akan terjadi permusuhan sengit bahkan tumpah darah antara warga NU dan pihak kiai asal Pasuruan itu.

Kelima, mendalami ilmu hadits berarti memupuk rasa cinta kepada Rasulullah SAW. KH Habib Ahmad, sebagai penerus mujiz (pemberi ijazah) kitab-kitab hadits di Tebuireng pernah menyatakan bahwa dengan mempelajari hadits kita seakan-akan kita hidup satu zaman bersama Rasulullah. Bagaimana tidak, ketika mengaji kitab Shahih Bukharimisalnya, kita disuguhi hadits nabi mengenai ibadah beliau, perilaku sehari-hari, keputusan hukum, prediksi masa depan, sampai tata cara berumah tangga yang baik dan benar, semua ada.

Beliau pernah menuturkan, ketika pengajian kitab hadits khatam justru bukan kesenangan yang didapat melainkan kesedihan. Menutup kitab hadits sama saja melepaskan kemesraan seseorang bersama Rasulullah SAW. Demikian pula yang dialami oleh dua guru beliau almarhum KH Idris Kamali dan KH Syansuri Badawi yang merupakan penerus mujizpascawafatnya Hadratus Syaikh. Secara khusus Hadratussyaikh juga mengompilasi hadits-hadits Sirah Nabawiyah (sejarah kenabian) yang kemudian tersusun dalam satu kitab beliau berjudul al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin.[3]

Selain lima poin di atas, banyak bukti dan alasan lainnya tentang mengapa Hadratussyaikh memfokuskan diri di bidang ilmu hadits. Salah satu buah dari intensitas beliau tersebut adalah menjadikan sosok Hadratussyaikh sebagai ulama yang tegas akan hukum Islam, faham akan tafsir-tafsir ayat al-Quran, teguh dalam ketauhidan, bersosial dengan baik di tengah-tengah masyarakat, memiliki jiwa patriotik yang tinggi.

Alhasil, menjadi ahli hadits sekaligus menguasai semua cabang keilmuan. Ini terbukti dari perpustakaan Hadratussyaikh yang kaya akan berbagai macam literatur khazanah keislaman, mulai tafsir, tasawuf, teologi, sejarah, linguistik, fiqh, sastra, dan ilmu pengobatan. Dalam katalog hadits, beliau memiliki belasan bahkan puluhan jilid kitab-kitab besar syarh Bukhari-Muslim-Turmudzi, sebuah koleksi yang bisa dibilang jarang dimiliki kebanyakan orang kala itu. Wallahu a’lam.


* Fathurrahman Karyadi, pernah menjadi editor di Majalah Tebuireng, kini melanjutkan studi magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di ajalah Tebuireng 


[1] KH Abdul Muchith Muzadi pernah bercerita kepada penulis, ketika Hadratus Syaikhmengkhatamkan sebuah kitab, beliau berdiri di hadapan para santri di masjid, lalu menuliskan sanad kitab tersebut sebanyak tiga papan tulis penuh. Para santri menulisnya secara lengkap. Kini tradisi memberikan ijazah ketika khataman kitab masih berlaku di beberapa pesantren, termasuk di Tebuireng.

[2] Judul lengkapnya “Al-Arba’un al-Buldaniyah: Arba’una haditsan ‘an Arbai’in Syaikhan min ‘Arba’in Baladatan” diterbitkan oleh Dar al-Basyair al-Islamiyah. Dalam kitab ini Syaikh Yasin al-Fadani meriwayatkan sebuah hadits dari Hadratus Syaikh pada hadits ke-36.

[3] Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh memproklamirkan bahwa hukum mencintai Rasulullah SAW adalah wajib, dan ada banyak cara untuk mencintai Rasul di antaranya dengan mengikuti sunnah-sunnahnya berupa ucapan, perbuatan, implementasi amar ma’ruf nahi munkar, semangat dakwah, bersopan santun, memerangi hawa nafsu yang semuanya didapat dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Adapun ciri orang mencintai Rasul ialah sering menyebut nama Rasulullah, maka tidak ada cabang ilmu yang sering menyebut nama Rasulullah kecuali ilmu hadits. (Baca al-Nur al-Mubin, hal. 11-28)