(foto: kiri -sarung biru-) Ustadz Irfan Usriya saat menjadi dewan juri di Madrasah Mu’allimin Tebuireng.

Tebuireng.online– “Saya itu termasuk nggak cepet loh hafalan dan memahami materi pelajaran,” ucap seorang lelaki berbaju abu-abu dengan kopiah hitam menghiasi kepalanya, Rabu (16/3). Irfan Usriya Namanya. Dia tidak hanya menjadi wali kelas, tapi juga seorang Gus di Pondok Pesantren Hidayatut Tholibin Kediri.

Karir Gus Irfan dalam dunia pendidikan di Tebuireng khususnya cemerlang, namun sayang tidak banyak orang yang mengenalnya, bahwa Ia adalah penggagas, pendiri dan mushohih (Hakim utama dalam musyawaroh bahtsul masail) pertama MFQ (Musyawaroh Fathul Qorib) se Mu’allimin dan Aliyah Tebuireng yang kini hanya berjalan di Mu’allimin karena gedung asrama yang sudah berpindah.

Kemudian berganti nama menjadi Fordisam (Forum Diskusi Santri Mu’allimin). Serta beliau juga selalu menjadi andalan utama utusan Tebuireng untuk mengikuti bahtsul masail di luar Tebuireng, salah satunya tingkat se Jawa – Madura di tahun 2012-2013. Beliau juga mengatakan, bahwa awal mula mencicipi Alfiyah sejak sekolah umum.

“Orientasinya beda, di rumah disuruh belajar ngaji, tapi waktu kalau sekolah dulu ke SMA ketemu anak-anak, nggak bisa mengikuti orang SMA ya gaul pacaran jadi ya saya bingung, tersiksa saya di sekolah itu,” dawuh Gus Irfan sembari tersenyum di hadapan santri Mu’allimin, usai ujian koreksi makna jawa pegon dalam kitab-kitab turast yang dikaji dalam pelajaran sekolah.

Gus Irfan panggilan akrab beliau di Madrasah, mengaku bahwa beliau termasuk orang yang nggak cerdas, artinya beliau belajar secara bertahap. Tidak seperti kebanyakan orang yang bisa belajar secara instan dan cepat. Otomatis beliau menemukan sendiri cara belajar yang paling pas untuk beliau sendiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Inilah beberapa tahapan yang dilakukan oleh Gus Irfan dalam belajar Alfiyah:

  1. Wajib Nyicil

Beliau selalu belajar secara step by step, jadi semisal tadi siang belajar Alfiyah, pulang sekolah sebelum masuk kamar, beliau baca meskipun cuma sebentar. Dan ketika malam ada jam musyawaroh (belajar bersama, seperti bahtsul masail). Beliau sudah menyiapkan materi yang akan dibahas dan apa-apa yang akan dijadikan pertanyaan saat musyawaroh sudah digelar.

  1. Belajar Kosongan (baca kitab yang masih belum ada maknanya)

Saat mondok, beliau memiliki 2 kitab. Satu kitab ada maknanya (makna Pegon) satunya murni kosongan. Jadi, habis belajar makna langsung belajar kosongan. Semasa belajar pun, beliau mengatakan tidak pernah menghafalkan bermacam-macam teori.

  1. Harus Berprinsip

Tidak hanya sekadar kata dan ucapan, tapi juga harus direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang nyata. Beliau menegaskan prinsip mondok itu harus punya, karena tanpa prinsip santri akan kebingungan dan mudah mengikuti arus.

  1. Minta Ilmu Ladunni

Seorang santri harus giat tadarus Al Qur’an dan mujahadah. Maksud dari mujahadah di sini adalah ketika malam hari melakukan sholat hajat, kemudian bermunajat paling serius agar diberi ilmu ladunni. Maksud Ilmu Ladunni di sini bukan berarti akhirnya tidak belajar sama sekali, melainkan minta diberi kemudahan memahami pelajaran ketika sedang muroja’ah (mengulangi pelajaran yang telah lalu).

“Khususnya temen-temen pendidikan salaf ya, yang notabenenya nggak ada ijazahnya mungkin, kita itu sudah belajar nggak cari ijazah. Lah kalo udah ngga bisa, nggak dapet ijazah lagi kan rugi. Intinya belajar sungguh-sungguh, masalah barokah itu nanti mengikuti,” pesan Gus Irfan.

Pewarta: Soni Fajar