Berlakunya sistem sorogan di Pesantren, menurut hemat saya masih relevan untuk tetap di pertahankan. Karena melalui sistem itu sangat dimungkinkan munculnya Ulama-ulama besar. pengalaman selama ini, Ulama-ulama besar tidak lahir dari lembaga pendidikan yang menganut sistem klasifisikal kecuali kalau yang disebut ulama itu ialah lepasan Universitas dengan prediket-prediket akademis formal.

Kita lihat saja KH. Ahmad Sidiq, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ali Ma’shum, dan lain sebagainya, beliau-beliau adalah lulusan (Weton) Pesantren non klasikal. Di pesantren “kuno” itu terdapat kebebasan memilih subyek, yang berupa pilihan pada kitab tertentu dan guru tertentu pula.

Cara ini baik sekali untuk mempertahankan. Kemudian digabung dengan konsep-konsep baru sebagaimana berlaku dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern.

Suatu contoh penggabungan itu adalah si A sebagai seorang santri memilih kitab Fath Al Mu’in untuk dipelajari dihadapan seorang Guru/Kiai. Pada waktunya si santri menamatkan kisah tersebut. Ia harus diuji tentang makna-maknanya, dan disuruh membikin skripsi atau suatu tulisan orisinil atas dasar pengetahuan dari kitab itu.

Batas ilmu pengetahuan yang perlu di terobos

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebenarnya masih banyak lagi kelebihan pesantren sebagai sistem pendidikan yang perlu dipertahankan. Namun harus kita akui, bahwa lembaga pendidikan seperti pesantren adalah refleksi kejenuhan intelektual dunia Islam dewasa ini. kejenuhan itu berlangsung sejak kurang lebih 200 – 300 tahun yang lalu. Orang tidak boleh sepakat mengenai waktu sejak kapannya ini, namun tetap kenyataan tersebut harus diakui. Kejenuhan intelektual itu tercermin antaralain pada konsep ilmu yang diberlakukan selama ini di berbagai lembaga pendidikan Islam, yang memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang sudah dibakukan dalam kitab-kitab. Jadi yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan ialah ilmu yang sudah ada. Dan yang disebut orang berilmu atau alim adalah orang yang mengetahui yang sudah baku itu. Dari sini berkembang menjadi tradisi pengajaran pesantren dalam bentuknya yang popular, yakni sistem hafalan (Vote Learning). Salah satu akibatnya siswa atau santri dalam sistem ini menjadi sangat konsumtif sikapnya terhadap ilmu pengetahuan, disebut just to consumethe science.

Apa ada harapan pesantren untuk hal yang demikian itu ?Kegiatan belajar mengajar kelas Awwaliah Putra

Nampaknya ada, menurut saya. Ini antara lain dibuktikan dengan adanya mode di kalangan pondok Pesantren untuk mendirikan Universitas, meskipun belum secara langsung mendirikan fakultas-fakultas umum. Kebanyakan terdiri dari fakultas : Tarbiyah, Syari’ah, Ushuluddin dan Adab, seperti IAIN. Yang paling penting adanya perkembangan ini adalah karena disini kemudian ada konsep mengenai keharusan membuat skripsi atau thesis pada mahasiswanya. Dapat diartikan, bahwa pondok pesantren menunjukkan gejala telah merobah konsepnya mengenai ilmu pengetahuan.

Maka persoalan yang mendesak bagi Pesantren sekarang ini aialah menemukan cara bagaimana agar pesantren merubah orientasi ilmiahnya. Tidak lagi diliputi oleh sikap merasa dikendalikan oleh “batas-batas” tersebut. Sebaliknya diliputi oleh semangat menerobos batas yang ada.

Sebetulnya, penumbuhan Universitas Islam modern bisa dimulai di Pesantren. Disini watak asli  Pesantren terpelihara, dan pada waktu yang sama juga bisa sangat modern.

Namun barangkali agak evolusioner sifatnya. Rote Learning (Pengajaran Hafalan) perlu ditinggalkan sedikit demi sedikit. Tetapi disitu tersimpul pandangan-pandangan yang cukup radikal, yang tidak lagi memandang bahwa apa yang tertulis itu adalah final.

Apabila Pesantren tidak berani menerapkan metode yang lebih relevan dengan tuntuan zaman, memang bisa ditinggalkan orang. Cara-cara yang kini ditempuh oleh kalangan mahasiswa ITB dengan masjid Salman-nya, mahasiswa UGM dengan Shalahuddin-nya, UI dengan masjid ARH-nya, dan sebagainya, dapat untuk perbandingan. Betapa kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan mendapatkan appluse besar, di mana mahasiswa tidak henti-hentinya mengadakan pendalaman agama  dan pada saat yang sama mereka menekuni bidang studi ilmu modern. Intinya adalah, penemuan metode baru dalam pengembangan ilmu keislaman sesuai dengan perkembangan zaman. Pesantren yang memiliki ciri keindonesian tersendiri, sebenarnya labih berhak untuk mencoba suatu metode baru. Pokok masalahnya adalah, sikap konsumtif terhadap ilmu harus dirubah menjadi sikap yang produktif terhadap ilmu. Lulusan pesantren harus berani menulis buku baru, berani membaca kitab secara rasional, dan sebagainya.

Dalam masyarakat seperti sekarang ini, tradisi pesantren yang sekarang ini akan tetap bertahan selagi pesantren menampilkan diri  sebagai universitas modern. Sedangkan sekarang pun sudah jelas, dari segi aktifitasnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan punya kelebihan dibanding dengan sekolah umum biasa. Di sekolah umum, murid terisolasi dari masyrakat dan gedungnya hidup hanya di kala jam-jam pelajaran. Tidak demikian di Pesantren, lembaga pendidikan ini umumnya merupakan satu kesatuan dengan masyarakat lingkungannya, dengan aktifitas yang hampir tidak mengenal waktu.

Menyinggung alat-alat pesantren, dalam hal ini alat pendidikan, agaknya memaksa kita untuk tidak tergesa-gesa melangkah. Kalau kita menghendaki para santri harus bisa ini, bisa itu, yakin hal-hal yang menyangkut masalah keterampilan, ilmu pengetahuan umum, dan lain-lainnya, biasanya memerlukan tenaga diluar untuk bersedia masuk pesantren. Namun itu tidak mudah. Maka sedapat mungkin, pesantren sendiri melakukan kaderisasi. Misalnya beberapa orang santri digembleng pengetahuan ilmu-ilmu sosial. Untuk pada saatnya, ia menjadi pengajar pendamping Kyai di Pesantrennya. Disamping itu tidak ada salahnya memasukan tenaga diluar, asalkan orang tersebut dapat membawakan diri di dunia pesantren.

Pengenalan ilmu sosial itu, juga bisa mengambil teori-teori dari kalangan muslim itu sendiri. Misalnya dalam masalah sosiologi, mengambil dari buku Ibn Khaldun. Tidak perlu diambil seluruhnya, cukup tema-tema yang relevan dengan dunia yang kita hadapi sekarang, misalnya masalah solidaritas sosial, the roling elite, atau the roling belief atau ideologi. Dengan titik tolak dalam nuktah-nuktah tersebut, kemudian dikembangkanlah ilmu sosial modern. Ini merupakan bagian dari seni menyelundup ide (the art of smuggling the idea).

Sarana lain yang perlu dipikirkan dalam masalah ini adalah perpustakaan, selama ini kebanyak pesantren tidak memiliki perpustakaan yang cukup memadai, hanya untuk pribadi-pribadi santri atau Kyai. Buku-buku yang dijadikan rujukan bersama tidak ada.

Kita tentu bisa mengukur, seberapa jauh kemampuan individu dalam membeli buku-buku. Jelas terbatas sekali. Mungkin sudah ada satu dua pesantren yang merintis kearah pengadaan perpustakaan ini. namun perpustakaan dalam pengertian yang memadai sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan, kita akui, masih perlu mendapat perhatian tersendiri. Pikirkan membuat standarisasi huruf pegonnya.

Nah melalui pesantren ini, alangkah baiknya ia bisa berperan sebagai sarana komunikasi “budaya tinggi” Islam di Indonesia dan bukan semata-mata sarana “Low Culture”.

DR. Nurcholis Madjid

 

Artikel Ini dimuat di Majalah Tebuireng Edisi 6, Oktober 1986