sumber gambar: www.google.com

Oleh: Yasinta Nurlaila*

Kita harus mulai memahami dan menggali kesadaran sejauh mana HAM di Indonesia diterapkan. Dikutip dari pemaparan Nurul Hakim salah satau perwakilan Biro Kontras Surabaya dalam sebuah diskusi, ia menjelaskan bahwa “tidak ada satu penguasa tertinggi pun yang berhak mengambil hak manusia itu sendiri karena pada dasarnya manusia mempunyai dua hak yaitu hak untuk kebebasan dan hak untuk merdeka”.

Berdasarkan hal tersebut dapat kita simpulkan bahsawanya suatu hak pada setiap individu itu tidak dapat diambil sedikit pun. Setiap manusia mempunyai keinginan tersendiri untuk diwujudkan tanpa adanya batasan atau tekanan dari pihak manapaun.

Jadi tugas kita sebagai warga Negara Indonesia yang baik dapat memantau sejauh mana pelaksanan HAM apakah sesuai dengan ketentuannya atau malah hanya menjadi permainan orang-orang beruang tebal. Berangkat dari sini lah peran mahasiswa diwujudkan karena menjadi salah satu juru kunci yang paling dekat dengan pemerintah ataupun masyarakat.

Seperti pesannya Gus Dur yang juga dijadikan landasan Nurul Hakim dalam melaksanakan tugasnya “Apabila kamu ingin menolong seseorang tapi masih melihat latar belakangnya maka kamu masih ditanyakan kemanusiaannya”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara sederhana apabila kita ingin menolong atau berbuat baik kepada sesama manusia maka tidak pandang bulu, tanpa pamrih dan tanpa pilah pilih. Memanusiakan manusia itu sangatlah penting untuk hidup bersosial, namun semakin berkembangnya zaman dan majunya teknologi manusia cenderung lebih memilih hidup secara eklusif.

Padahal pada dasarnya manusia itu mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Pemandangan yang masih kental terlihat hidup secara sosial, gotong-royong dan menjunjung tingginya rasa kemanusiaan adalah di sebuah desa.

Masyarakat yang jauh dari perkotaan dan belum terkontaminasi dengan budaya luar, malah bisa melestarikan jiwa-jiwa sosial karena mereka menyadari bahwa hidup dalam sebuah lingkungan memerlukan solidaritas yang tinggi sehingga akan menjadi satu kesatuan yang kuat layaknya keluarga dalam sebuah desa.

Namun pada akhir-akhir ini tidak pada masyarakat kota ataupun desa, pertanyaan yang timbul sama yakni dimana rasa kemanusiaan mereka? Wabah yang menjadi pendemi seluruh dunia tanpa terkecuali Negara Indonesia harusnya dilawan bersama, menaati peraturan pemerintah untuk social distance menjaga jarak dalam hidup bersosial.

Namun mirisnya bukan hanya jarak antara manusia yang dikurangi tapi malah jarak yang kian hari menjauh rasa kemanusiaannya. Ada beberapa kasus tentang penolakan jasad yang terkena covid-19 yang akan dikebumikan tapi semerta-merta tanpa memikirkan hati nurani dan kemanusiaan secara terang-terangan menolak jasad tersebut untuk dimakamkan di desa tersebut.

Sungguh miris dan memprihatinkan, dan hal tersebut patut kita semua perhatikan bahwa yang dijauhi dan dilawan adalah penyakitnya bukan malah kemanusiaan.

Sebagai sesama manusia hendaknya kita saling menolong dan berbelas kasih untuk mereka yang menjadi korban bukan malah memposisikan sebagai sesuatu yang hina, karena mereka sedang berjuang untuk kesembuhan oleh karenaya perlu dukungan mental bukan malah membuat menjadi down.

Pengucilan dan lain sebagainya membuat semaki tingginya angka positif pemaparan virus karena orang yang awalnya ingin melaporkan diri serta memeriksakan kesehatannya akan menjadi lebih takut jika harus dikucilkan dan dijauhi orang-orang disekitar.

Ketahuilah Negara kita sedang diuji dengan wabah ini jadi yang kini masih menerapkan rasa soliter buanglah dan anti menjadi solider karena bersatu melawan wahab ini sangat penting. Tanyakan dalam jiwa masing-masing terbuat dari manakah kemanusiaan? Jika bukan pada hati nurani itu berarti bukanlah manusia.

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.