Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*
Puasa secara bahasa berati mengekang, menahan, dan mengendalikan. Sedang menurut syariat artinya menahan segala sesuatu yang dapat membatalkannya sejak terbitnya matahari yakni pada waktu Subuh hingga terbenamnya matahari, yakni pada waktu Magrib.
Atas definisi tersebut, bisa dipahami bahwa puasa merupakan sebuah materi latihan atau uji kesabaran pada seseorang yang melakukannya, baik itu jangka pendek (sehari), jangka menengah (sebulan) hingga jangka panjang (seumur hidup).
Bagaimana tidak? Makan, minum, bersetubuh merupakan sesuatu yang vital dilakukan manusia. Hal tersebut bisa dilakukan kapan saja. Namun, pada bulan Ramadan ini, ia harus ditahan kurang lebih 14 jam dalam 29-30 hari ke depan.
Akan tetapi, kesetiaan seseorang melakukan hal ini akan sangat terkontrol karena Allah SWT mengontrolnya secara langsung, baik itu sebuah latihan atau uji kesabaran bagi seseorang tersebut yang mampu menganggu aktivitasnya dalam berupuasa.
Sabar dalam prespektif Islam, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut;
- Sabar melaksanakan perintah (ash-shabru ‘ala at-tho’ah).
Selama berpuasa, secara tidak langsung kita dilatih dan diuji untuk tetap mempertahankan puasa kita dari hal-hal yang dapat membatalkannya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Secara konstan, hal ini terkait dengan melaksanakan perintah Allah SWT, karena kesadaran taat ini muncul ketika pada hari-hari puasa. Seseorang yang mulanya tidak berpuasa menjadi puasa. Seseorang yang mulanya tidak biasa ke Majid, menjadi sering pergi ke Masjid.
Seseorang yang biasanya jarang membaca Al Quran menjadi sering membaca Al Quran atau mendengarkan lantunan ayat-ayat Al Quran. Seseorang yang jarang bersedekah menjadi sering bersedekah. Hal-hal baik ini, secara spontan akan dilakukan oleh seseorang. Walaupun hanya sebatas di bulan Ramadan saja, namun pelan-pelan akan menumbuhkan sifat kesetiaan dalam menjalankan perintah Allah SWT, yang diharapkan untuk terus terbawa pada bulan-bulan setelah bulan Ramadan.
- Sabar menjauhi larangan (ash-shabru ‘ala al-ma’shiyyah)
Seseorang yang berpuasa bisa dipastikan memiliki kepekaan lebih tinggi terkait dengan kemaksiatan. Seringkali kita mendengar ada orang yang berkata, “Eh jangan marah! Lagi puasa lo.”, “Eh puasa-puasa kok mengumpat.” dan istilah perkataan yang lainnya. Hal ini terjadi karena tingginya kesadaran orang yang berpuasa secara spontan muncul untuk menjauhi larangan Allah SWT.
- Sabar menghadapi musibah (ash-shabru ‘ala al-mushibah)
Acap kali kita menyebut musibah dengan sebutan bencana. Secara harfiyah memang berbeda, namun memiliki kandungan makna yang sama. Adapun bencana psikis lebih berat ketimbang bencana fisik. Dalam berpuasa seseorang mendapatkan latihan dan ujian yang luar biasa. Karena latihan dan uji kesabaran yang terjadi dalam berpuasa merupakan materi unggul yang tak tertandingi.
Berbicara mengenai puasa adalah bentuk dari latihan dan ujian kesabaran, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Hadis Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5066
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).”
Bisa kita tarik kesimpulan bahwasanya puasa adalah pengendali nafsu yang sangat ampuh, termasuk bagi para pemuda yang ingin menikah namun belum memenuhi syarat yang ada. Karena dengan berpuasa seseorang akan belajar sekaligus mengukur seberapa tebal mental kesabarannya.
*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.