Buku Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi. (sumber: tokpedia)

Memotret kehidupan para santri hari ini yang bertempat tinggal di pondok pesantren dalam dunia yang senantiasa dipenuhi oleh teknologi maju, canggih dan terkini, merupakan sebuah hal yang sangat penting serta memiliki daya tarik tersendiri. Hal ini dikarenakan pondok pesantren seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang usang, kuno dan tertinggal zaman. Tetapi dalam sejarahnya justru pondok pesantren yang ada di Indonesia adalah sebuah lembaga pendidikan yang telah berhasil dalam pembentukan karakter yang mencintai tanah air, dan juga pondok pesantren sendiri seringkali melibatkan dirinya turut serta dalam memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara.

Maka takala membaca sejarah bangsa ini, sanggatlah pantas jika para santri bersama para kiai beranggapan bahwa kemerdekaan yang dinikmati oleh Republik Indonesia adalah hasil dari perjuangan kalangan pesantren. Namun sekali lagi, santri, kiai dan pesantren nyatanya tidak perlu panggung untuk pengakuan tersebut. Mereka hanya melakukan salah satu panggilan syariah untuk cinta dan membela tanah air. Hingga untuk urusan panggung, kalangan pesantren menyerahkannya kepada mekanisme sejarah bangsa dalam memperlakukan para pendahulunya.

Pesantren sejak awal kemunculannya sudah menjadi lembaga yang konsen dalam penyebaran ilmu agama Islam secara turun menurun. Berdasarkan data dari peneliti Martin van Brunessen, pesantren sudah ada sejak tahun 1742 yaitu Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur. Tahun selanjutnya berdiri Pondok Pesantren Sidogiri pada tahun 1745, Pondok Pesantren Tambakberas 1825 dan Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1899. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri dan pendapat kedua menyatakan bahwa sistem pendidikan pondok pesantren adalah asli Indonesia.

Baca Juga: Model Pendidikan Pesantren Menjawab Tantangan Perubahan

Secara historis-antropologis, lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakat Indonesia yang sangat mejemuk. Pesantren dari sudut pandang historis-kultural dapat dikaitakn sebagai pusat pelatihan mewarnai dinamika kebudayaan masyarakat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bawani mendefisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran ilmu agama islam, umunya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiai mengajarksn ilmu kepada para santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama pada adab pertengahan.

Ahmad Khadafi melalui bukunya yang berjuduk “Dari Bilik Pesantren” memberikan gambaran menarik tentang dunia santri, kyai dan pondok pesantren yang sering kali tidak banyak orang mengetahuinya. Ia menceritakan bagaimana hubungan antara santri dan kyai di dalam pondok pesantren yang sering kali diwarnai oleh canda, dan tawa yang tentunya tidak melupakan nilai-nilai penanaman adab, ahlak serta budi pekerti yang menjadi ciri khas Pendidikan di pondok pesantren. Selain itu, Ahmad Khadafi juga memotret dengan apik bagaimana para kyai-kyai pondok pesantren, yang memiliki sebuah karomah (keistemawaan) yang hanya ditunjukan kepada para santri dan juga pengikutnya.

Membaca buku ini membawa seorang pembaca melihat banyak sudut pandang  yang jarang diketahui oleh masyarakat umum tentang hubungan seorang santri dangan kyai di dalam pondok pesantren yang tidak hanya sebuah hubungan seorang pendidik dan juga seorang siswa saja. Tetapi seperti hubungan seorang anak dan orang tuanya.

Baca Juga: Tantangan dan Peluang Pesantren Menghadapi Dinamika Pendidikan dan Pengembangan Diri

Selain mengambarkan hal-hal yang telah disebutkan, buku ini juga memamparkan literatur-literatur mengenai sejarah pendirian pondok pesantren, kajian kitab kuning klasik, sistem pendidikan pondok pesantren seperti Sorongan dan Bandongan dan bagaimana penanaman karakter ahlak serta budi pekerti.


Judul Buku: Dari Bilik Pesantren (Kumpulan Esai Tentang Santri, Kiai, dan Pesantren)
Penulis: Ahmad Khadafi
Cetakan: Cetakan keempat, Juni 2021
Halaman: xxvii + 254
Penerbit: Mojok Grup
ISBN: 978-602-51695-3-3
Peresensi: Dimas Setyawan Saputro