Ilustrasi pemimpin

Dalam kajian fikih, kita mengenal namanya salat berjamaah. Sebuah jamaah harus terdiri dari imam dan makmum yang mengikutinya. Keduanya akan menciptakan sebuah keteraturan. Tanpa seorang imam, orang yang salat akan terlihat tak teratur. Meskipun beberapa orang takbir secara bersamaan, akhirnya tentu tak serentak karena kecepatan shalat orang berbeda-beda.

Begitulah gambaran kita dalam bernegara. Tanpa ada pemimpin, rakyat akan kocar-kacir. Tak ada yang mereka jadikan panutan dan nantinya akan terjerumus dalam hukum rimba yang kelam. Dengan pertimbangan demikian, setelah kewafatan Rasulullah, para sahabat segera membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin. Sehingga, pengangkatan pemimpin dalam Islam hukumnya wajib, berdasarkan ijmak (kesepakatan) para sahabat dan tabi’in.

Bila tidak ada pemimpin, salah satu konsekuensi logisnya adalah di antara masyarakat akan terjadi konflik karena beragamnya kepentingan dan tujuan masing-masing individu. Seperti analogi jamaah tadi: kecepatan shalat setiap orang berbeda-beda. Keberadaan pemimpin pun bisa menjadi perantara untuk menghindari pertumpahan darah. Ini selaras dengan maqashid al-Syariah dalam ilmu ushul fikih.

Kriteria Pemimpin

Dari situ, fikih siyasah aturan hukum syariat dalam berpolitik hadir sebagai solusi dengan menetapkan beberapa kriteria pemimpin. Karena pemimpin memiliki pengaruh yang besar, maka butuh kriteria dalam menetapkannya. Seperti yang dituliskan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Setidaknya ada lima kriteria yang disebutkan beliau, yaitu:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertama, berpengetahuan. Hal ini sudah jelas, sebab pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan. Dengan pengetahuan yang baik, pemimpin dapat memikirkan strategi yang matang dalam memanajemen pihak-pihak di bawahnya.

Kedua, memiliki integritas. Artinya, seorang pemimpin harus bisa menyatukan elemen-elemen di bawahnya. Tanpa ada komunikasi dan jalinan yang baik, sistem pemerintahan akan bobrok dan amburadul.

Ketiga, kompeten. Dalam artian, pemimpin harus berani mengambil risiko dengan mempertimbangkannya matang-matang. Begitu banyak keputusan yang harus diambil setiap waktu, membuat pemimpin harus mampu berpikir jernih untuk menetapkan kapan keputusan diambil. Sehingga, ia dapat menjaga keutuhan masyarakat dan bisa memunculkan maslahat.

Keempat, sehat jasmani dan rohani. Kesehatan ini sangat berpengaruh pada pelaksanaan tugas seorang pemimpin. Karena bila pemimpin sakit-sakitan atau terganggu jiwanya, maka sistem akan berantakan. Kondisi tersebut sama halnya dengan ketiadaan pemimpin, bukan?

Kelima, memiliki garis keturunan dari suku Quraisy. Harus keturunan Rasulullahlah yang pantas menjadi pemimpin menurut kriteria terakhir ini. Namun, kriteria ini masih diperdebatkan para ulama sebab mempertimbangkan beberapa hal.

Bila di pemilihan Pemilu 2024 nanti tak ada habib yang mencalonkan diri, tenang saja. Toh, kriteria lain masih ada dan sudah disepakati. Kalau pun masih tidak ada calon yang memenuhi empat kriteria tersebut, tak perlu risau. Pilih saja yang paling mendekati, punya tiga kriteria mungkin. Jadi teringat satu Kaidah Fikih yang berbunyi, ma la yudraku kulluh la tutraku kulluh. Artinya, “Bila tidak memenuhi semua, maka jangan tinggalkan semua.” Intinya, jangan golput!


Ditulis oleh Muhammad Miqdadul Anam, mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo