Sumber foto : NU Online

Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan

Islam mempunyai konsep yang khas mengenai sikap seseorang atas kebutuhan hidup: sandang, pangan, dan papan. Secara sederhana konsep tersebut seperti ini, “Cukupilah kebutuhan tersebut untuk mempertahankan nyawa, namun janganlah terlena padanya.” sebuah sikap yang moderat. Terdapat sebuah sekat yang cukup jelas dalam praktik pemenuhan kebutuhan hidup tersebut, yaitu “jangan terlena”.

Silakan didefinisikan sendiri arti terlena di atas. Yang jelas, jika seseorang memiliki tujuan prioritas hidup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, berarti dia telah terlena. Ada konsep lain yang seirama untuk meneguhkan konsep sebelumnya, “Silakan mencari harta, namun jangan mencintainya.” terdengar lebih sederhana.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah, jika seorang awam (muslim yang tidak begitu paham mengenai keilmuan Islam) bertanya dengan berat hati: “Bagaimana mungkin manusia biasa seperti saya tidak mencintai harta yang telah saya raih dengan susah payah?”. Pertanyaan seperti itu pernah ditulis oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dalam kitabnya, Minhajul Abidin. Dalam kitab tersebut -redaksinya sedikit berbeda- berbunyi, “…..padahal harta terlihat begitu indah (menyenangkan)”.

Imam al-Ghazali menjawab pertanyaan di atas dengan peribaratan apik. Suatu ketika, Julie Estelle dan Sandra Dewi sedang berada di restoran. Makanan yang disuguhkan kepada mereka sama persis, sama-sama terlihat begitu nikmat. Yang membedakan adalah, Julie mengetahui bahwa di dalam wujud nikmat makanan tersebut terdapat racun yang mematikan. Sedangkan Sandra tidak mengetahuinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pasti sudah dapat diduga. Julie tidak akan tergiur lagi oleh kenikmatan yang disuguhkan dalam wujud fisik makanan tersebut, bahkan tidak akan mau memakannya. Sedangkan Sandra, yang tidak tahu dan tidak diberi tahu, akan tetap mengiginkannya dan tentu dengan senang hati memakannya. Dari sini jelaslah jawaban yang ditawarkan Imam al-Ghazali atas pertanyaan tersebut. Jika seseorang menginginkan dirinya untuk tidak mencintai harta yang telah dicarinya, maka dia harus sadar bahwa di dalam harta duniawi yang begitu indah terdapat keburukan di dalamnya.

Kesadaran, itulah yang dijadikan patokan kemungkinan seseorang untuk tidak terlena pada pemenuhan kebutuhan hidup. Seorang awam yang sadar bahwa harta duniawi sejatinya buruk, akan secara otomatis tidak terlena kepadanya. Sehingga pada akhirnya hanya orang yang sadarlah yang dapat mempraktikkan sikap islami atas pemenuhan kebutuhan hidup.

Muthoharun Afif ketika membaca kitab Imam Ghazali di atas memberikan keterangan bahwa kesadaran atas buruknya harta duniawi bukanlah hal remeh. Sadar atau tidaknya seseorang merupakan anugerah dari Allah. Sehingga orang yang telah sadar harus bersyukur atas anugerah tersebut.

Sikap bersyukur itu menjadi penting karena tidak jarang orang yang menjaga jarak dari harta duniawi dipandang aneh oleh mereka yang belum sadar. Imam Ghazali pada lanjutan pembahasan di Minhajul Abidin mengatakan bahwa bukan sebuah kesalahan ketika seseorang yang belum sadar risih atas sikap ‘jaga jarak’ terhadap harta duniawi yang diterapkan oleh seseorang. Ketidaksadaran orang tersebutlah yang membuatnya seperti itu.

Lebih lanjut lagi Imam Ghazali berkata, “Andai kata Julie tidak sadar akan adanya racun, tentu dia akan memakan makanan yang disuguhkan dengan senang hati. Begitu pula jika Sandra sadar, dia sudah barang tentu tidak akan memakannya.” Sikap mereka tergantung pada kesadaran yang dianugerahkan oleh Allah. Sehingga setiap orang yang sadar harus dapat bersyukur atas kesadarannya dan bersabar atas pandangan aneh dari orang yang belum sadar.

Akhirnya, semoga kesadaran akan buruknya harta duniawi dapat kita peroleh agar kita senantiasa dapat menjaga jarak darinya dan terhindar dari keterlenaan cinta harta duniawi. Amin.


*Diolah dari pengajian Minhajul Abidin oleh KH. Drs. Muthohharun Afif, Lc., M.Hi.