Oleh: Quratul Adawiyah*
Suatu hari seorang guru berjalan bersama muridnya di sebuah ladang. Tiba-tiba mereka menemukan sepatu usang milik seorang petani. Sang murid berkata pada gurunya, “Wahai guru, bagaimana kalau kita bercandai petani itu dengan menyembunyikan sepatu miliknya. Kita lihat bagaimana reaksinya nanti.”
Sang guru berkata, “Wahai anakku, kita tidak boleh menghibur diri atau mencari kebahagiaan dengan cara membuat orang lain sedih, lagi pula kamu kan orang kaya, kamu bisa membuat dirimu dan dirinya bahagia dalam waktu bersamaan.”
“Bagaimana caranya, wahai guru?”
“Letakkan beberapa (uang) dinar pada kedua sepatunya, lalu kita cari tempat persembunyian sembari melihat bagaimana reaksinya nanti,” jawab sang guru.
Si murid melakukan apa yang diminta oleh gurunya, keduanya lalu bersembunyi di balik semak-semak menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa saat kemudian datanglah petani miskin itu, bajunya terlihat kumal setelah seharian bekerja, lalu ia memakai sepatunya, tetapi tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang mengganjal pada kakinya.
Diperiksalah sepatunya tersebut, tiba-tiba dia menemukan beberapa keping uang dinar. Hal yang sama ia temukan pada sepatunya yang satu lagi. Dilihatnya dinar-dinar itu dengan pandangan seperti tidak percaya, dia memastikan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. Pandangannya ke sana kemari pada sekeliling pematang, namun tak ada seorangpun di sana.
Iapun tersungkur sujud, lalu mengangkat wajahnya ke langit sambil berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu wahai Rabbku, Wahai yang Maha tahu bahwa istriku sedang sakit dan anakku sedang kelaparan dan tidak menemukan apapun untuk mengganjal perutnya. Syukurku pada-Mu yang telah menyelamatkan kami dari kebinasaan.”
Petani itu terus menatap ke langit sambil memuji Allah.
Si murid pun terenyuh. Ia tak kuasa membendung air mata bahagianya. Sang guru bertanya, “Bukankan sekarang kamu lebih bahagia ketimbang kamu menyembunyikan sepatu milik petani itu? Manakah yang lebih baik, kamu bahagia karena menderitakan orang lain, atau kamu bahagia karena membahagiakan orang lain?”
Sang murid menjawab, “Aku mengerti guru. Aku baru saja belajar hal yang takkan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Sekarang aku baru mengerti sebuah kalimat yang sebelumnya tidak aku pahami dengan baik, ‘Saat kau memberi, kau akan lebih bahagia ketimbang saat kamu menerima’.”
Sang guru menambahkan, “Wahai anakku, jangan sekali-kali mencari kebahagiaan dengan cara menderitakan orang lain. Kebahagiaanmu dimulai ketika kau membahagiakan orang lain.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَا لِحًـا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَـنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةً وَلَـنَجْزِيَـنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَ حْسَنِ مَا كَا نُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl 16: Ayat 97)
Oleh karena itu untuk menciptakan kebahagiaan sangat mudah dan dekat di sekeliling kita. Ia akan datang di saat kita memberi kebahagiaan kepada orang lain. Kegembiraan dirasakan oleh hati, dan Allahlah Dzat yang membolak balikkan hati. Ketika hati lembut, maka kebahagiaan akan hadir.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari