
Fenomena kesurupan merupakan kejadian yang umum ditemukan dalam berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Kesurupan ditandai dengan hilangnya kontrol atas kesadaran dan perilaku, yang sering kali diikuti dengan perubahan suara, ekspresi, bahkan kepribadian, seolah-olah individu tersebut dirasuki oleh makhluk halus atau entitas nonfisik.
Di Indonesia, fenomena ini kerap dikaitkan dengan unsur spiritual dan mistis, meskipun pendekatan medis dan psikologis telah mencoba menjelaskannya secara ilmiah. Beberapa ahli menyebut kesurupan sebagai bentuk gangguan disosiatif yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kepercayaan budaya.
Kasus-kasus kesurupan banyak ditemukan di lingkungan sekolah, tempat ibadah, hingga dalam ritual adat, terutama di wilayah dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap dunia gaib. Maka dari itu, penting untuk menganalisis fenomena kesurupan secara objektif, baik dari perspektif medis, psikologis, maupun kultural.
Dampak dari fenomena kesurupan sangat bervariasi tergantung pada respons lingkungan sekitar. Di lembaga pendidikan, misalnya, kesurupan massal dapat memicu kepanikan, mengganggu proses belajar, dan bahkan menyebabkan ketegangan antarpihak. Selain itu, individu yang mengalami kesurupan kerap merasakan kelelahan ekstrem atau kehilangan kesadaran dalam waktu cukup lama, serta mengalami tekanan psikologis pascakejadian.
Baca Juga: Hubungan Perilaku dengan Tingkat Keimanan Seseorang
Dalam beberapa kasus, kesurupan juga melanggengkan kepercayaan masyarakat terhadap praktik mistik, sehingga menghambat pendekatan rasional terhadap kesehatan mental. Lebih jauh, jika tidak ditangani dengan pendekatan medis atau psikologis yang tepat, fenomena ini bisa menimbulkan stigma terhadap individu yang memiliki gangguan jiwa ringan. Oleh karena itu, memahami dampak kesurupan tidak cukup hanya dari satu aspek, tetapi memerlukan pendekatan multidisipliner.
Secara psikologis, kesurupan dapat dikaitkan dengan gangguan kejiwaan seperti dissociative trance disorder, yakni gangguan identitas dan kesadaran yang dapat muncul secara tiba-tiba. Penyebab utama dari gangguan ini adalah tekanan emosional, trauma, dan pengaruh lingkungan budaya. Kesurupan dapat menjadi bentuk pelarian dari realitas atau mekanisme pertahanan bawah sadar yang muncul akibat stres berat.
Sebagai contoh, siswa yang berada dalam tekanan akademik berlebihan bisa mengalami kesurupan sebagai reaksi psikis atas ketidakmampuan menanggung beban tersebut. Studi dari Universitas Airlangga menunjukkan bahwa kesurupan sering dikategorikan sebagai bentuk gangguan disosiatif, bukan semata-mata kerasukan gaib (Yunita, 2023). Oleh karena itu, penanganan medis dan psikologis menjadi penting dalam mengurai penyebab dari fenomena ini.
Penyebab kesurupan sendiri dapat dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup kondisi psikologis seperti kelelahan ekstrem, kecemasan, atau trauma yang belum terselesaikan. Sedangkan faktor eksternal bisa berupa tekanan sosial, pengaruh budaya, dan kepercayaan terhadap hal-hal gaib yang dominan di lingkungan sekitar. Sering kali, lingkungan yang sangat percaya akan dunia roh menciptakan suasana kolektif yang kondusif bagi terjadinya kesurupan.
Dalam hal ini, kesurupan bisa dimaknai sebagai bentuk sugesti kolektif yang kuat, terutama pada individu yang rentan secara mental. Penelitian di Universitas Negeri Semarang menyatakan bahwa kesurupan merupakan mekanisme pertahanan terhadap tekanan psikologis yang dialami dalam kelompok, terutama di lingkungan sekolah (Sugiarti, 2020). Maka dari itu, perlu kajian menyeluruh terhadap berbagai faktor penyebab kesurupan secara ilmiah.
Sejalan dengan hasil-hasil kajian tersebut, beberapa penelitian dari universitas di Indonesia memperkuat pandangan bahwa kesurupan bukan semata akibat kerasukan roh. Studi dari Universitas Negeri Semarang menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, kesurupan terjadi di lingkungan dengan tekanan sosial tinggi dan budaya kolektif yang kuat (Sugiarti, 2020).
Baca Juga: Pentingnya Istiqamah Bertakwa
Kajian dari UIN Suska Riau bahkan menjelaskan bahwa kesurupan dapat ditinjau dari perspektif Islam sebagai bentuk ketidakseimbangan akal akibat lemahnya kontrol diri terhadap emosi (Azmi, 2021). Sementara itu, Universitas Airlangga menegaskan bahwa dari sisi klinis, kesurupan dapat diklasifikasikan sebagai gangguan disosiatif karena individu mengalami perubahan identitas secara tiba-tiba di luar kendali sadar (Yunita, 2023). Dengan demikian, pendekatan multidisipliner yang menggabungkan ilmu psikologi, keagamaan, dan budaya sangat dibutuhkan agar fenomena ini tidak hanya dijelaskan secara spiritualistik semata.
Menurut pendapat saya, kesurupan lebih logis dipahami sebagai reaksi psikis yang dipicu oleh tekanan lingkungan dan kondisi mental yang tidak stabil. Dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap hal mistis, sugesti dapat berkembang kuat dan mempengaruhi cara individu bereaksi terhadap stres.
Hal ini menjelaskan mengapa kesurupan massal kerap terjadi di tempat-tempat seperti sekolah atau asrama yang memiliki tekanan tinggi serta budaya kolektif. Ketika satu individu mulai menunjukkan tanda-tanda kesurupan, orang lain yang berada dalam kondisi mental serupa bisa dengan mudah terpengaruh. Sugesti sosial ini menjadi pemicu utama penyebaran kesurupan secara cepat dan luas. Maka, penting bagi masyarakat untuk lebih rasional dalam merespons kesurupan, dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya yang ada.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa kesurupan dalam beberapa budaya memiliki peran simbolik dan spiritual yang penting. Dalam konteks tertentu, kesurupan bahkan dijadikan sarana komunikasi antara manusia dan dunia roh, terutama dalam upacara adat atau ritual keagamaan. Kesurupan dalam kerangka ini dianggap bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai bentuk pengabdian atau penerimaan wahyu.
Namun, meskipun kesurupan memiliki makna spiritual dalam budaya tertentu, pemahaman ilmiah dan psikologis tetap perlu digunakan sebagai landasan dalam menangani kasus-kasus di luar konteks ritual. Dengan demikian, kita dapat menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap budaya dan pendekatan rasional terhadap kesehatan mental. Hal ini akan memperkaya cara kita memahami fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang.
Lebih lanjut, fenomena kesurupan juga dapat menjadi indikator adanya tekanan struktural dalam sistem sosial, terutama dalam lembaga pendidikan atau kerja. Kesurupan massal sering kali terjadi di sekolah-sekolah yang memiliki sistem akademik yang menekan, kurangnya perhatian terhadap kesehatan mental siswa, serta minimnya dukungan emosional dari lingkungan.
Dalam konteks ini, kesurupan tidak hanya menjadi persoalan individu, tetapi juga menjadi cerminan masalah sistemik yang membutuhkan perbaikan. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk menciptakan suasana belajar yang sehat secara mental, melalui edukasi kesehatan jiwa dan pelatihan penanganan krisis emosional. Kesurupan bisa dicegah dengan pendekatan pencegahan yang berbasis sistem, bukan hanya penyembuhan berbasis supranatural. Dengan begitu, kesejahteraan psikologis dapat tercapai secara berkelanjutan.
Baca Juga: Tak Kasat Mata
Sebagai kesimpulan, kesurupan merupakan fenomena kompleks yang tidak bisa dijelaskan hanya dari satu sudut pandang. Antara dugaan keterlibatan roh dan kekuatan sugesti, keduanya mungkin berperan, tergantung pada konteks sosial dan budaya. Namun, dengan pendekatan ilmiah, kita dapat lebih memahami bahwa kesurupan kerap kali merupakan respons terhadap tekanan psikologis dan sosial.
Menggabungkan pendekatan medis, psikologis, dan budaya akan memberikan gambaran yang lebih utuh terhadap fenomena ini. Kesurupan tidak semata-mata persoalan spiritual, tetapi juga mencerminkan kesehatan mental masyarakat. Oleh karena itu, penanganan yang tepat akan membantu membentuk masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan rasional.
Daftar Referensi
- Azmi, I. (2021). Fenomena Kesurupan dalam Perspektif Psikologi dan Islam. UIN Suska Riau.
- Sugiarti, R. (2020). Kesurupan Sebagai Pertahanan Diri terhadap Stres. Universitas Negeri Semarang.
- Yunita, D. (2023). Kesurupan: Apakah Sebuah Gangguan Mental? Universitas Airlangga.
Penulis: Felia Nur Anggreani
Editor: Rara Zarary