Ilustrasi: www.google.com

Oleh: M. Ilham Ali, R

Doa mengenang duka. Melintas wajah masa silam dengan air mata. Tak ada yang kaya raya. Tak ditemui miskin nistapa.

Aku masih mengangguk – angguk. Meneguk sisa susu yang tawar di pinggir jalan raya kota. Hanya ada debu yang asin, atau kaleng minuman yang bubyinya bising.

Tak ada yang mengetuk, tak ada yang berlari menjadi pemenang, semuanya tenang, diam ngobrol, ngopi, dan tak ada tujuan.

Sedang di rumah tak beratap, seorang ibu cemas melongo ke sana ke mari, barangkali menunggu suami atau anaknya yang menjanjikan sesuap nasi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hujan hujan bersahutan. Ada air mata yang jatuh bersamaan. Menenggelamkan prasangka, atau meluluhkan siapa yang sedang iba.

Air mata dan hujan yang tak pernah bisa sama. Aku hitung satu persatu kemungkinan, doa, impian, harapan, atau rasa yang sudah memudar tak bisa terbayar oleh kedatangan seseorang yang pernah berjanji dan mendebarkan.

Air mata.

Air mata.

Yang sampai kapan pun kita tak pernah tahu alasannya. Membeli kejujuran hati pun, tak pernah ada kuasa.

*menulis untuk diri sendiri dan yang mau membacanya.