Sumber gambar: http://nahdlatululama.id/blog/2017/09/13/risalatul-muawanah-habib-abdullah/

Keterangan lanjutan kitab risalah al-Mu’awanah karya Sayyid Abdullah ibn Alawi ibn Muhammad al-Haddad, niat dan amal dalam perbuatan-perbuatan mubah seperti makan, bisa diniatkan untuk melaksanakan perintah Allah, sebagaiamana firman-Nya:

كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ مَا رَزَقْناكُمْ وَلا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوى

“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas dengannya yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu, dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku maka sesungguhnya binasalah ia.”  (QS. Thaha : 81)

Dapat pula berniat untuk meningkatkan ketahanan tubuh demi melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah SWT. Juga anda dapat berniat untuk berkesempatan mengucapkan syukur kepada Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

كُلُوْا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهُ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Makanlah olehmu dari rezeki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.” (QS. Saba’ : 15)

Dapat diambil contoh lainnya, baik dalam hal-hal yang wajib, sunnah, maupun mubah. Bersungguh-sungguhlah dalam hal ini. Tradisi ushul fiqh, bahasan amr dalam mashadiru al-ahkam (sumber utama hukum; Quran, Hadis, dan seterusnya) tidak semua bersifat perintah mutlak wajib. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa sighat amr dalam tsulasi mujarrod, bisa juga bermakna nadb (sunah), irysad (petunjuk), ibahah (mubah), tahdid (ancaman), ikram (memuliakan), taskhir (mencela), ta’jiz (melemahkan), dan seterusnya. Seperti keterangan dalam al-Bayan karya Abdul Hamid Hakim.

Ketegori mubah adalah hal-hal yang masih bersifat netral, tidak ada perintah maupun larangan yang shorih dari Al Quran maupun Hadis. Dalam arti hal tersebut boleh dilakukan, juga boleh ditinggalkan, tanpa ada konsekuensi dosa ataupun pahala. Menurut Imam as-Syathibi, mubah berada di tengah-tengah antara mengerjakan dan meninggalkan amal, seorang mukallaf bisa memilih mengerjakan atau tidak. Maka dalam risalah al-Mu’awanah ini menekankan ‘amal yang baik adalah amal yang juga punya pondasi niat yang baik’.

Selanjutnya, niat dapat mengandung dua makna:

Pertama, makna niat; menunjukkan tujuan sebenarnya yang telah mendorong anda untuk berazam (membersitkan niat di hati), bekerja ataupun berucap. Dengan makna itu, kerap kali niat untuk berbuat sesuatu menjadi lebih utama daripada perbuatannya sendiri bila perbuatan tersebut baik, ataupun menjadi lebih buruk daripada niatnya bila perbuatan tersebut buruk. Rasulullah Saw bersabda;

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya.”

Kalau boleh mengklaborasi, konteks hadis ini bisa bermaksud menunjukkan bahwa niat itu adalah dorongan utama beramal. Rasulullah SAW menyebut bahwa niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya. Tetapi bukan berarti kita mempermainkan hukum dengan hadis ini, hanya berniat tanpa melaksanakan. Itu keluar dari konteks hadis ini. Rasul memang memuji orang berniat baik karena niat orang tersebut sebagai pendorong dia akan beramal seketika, bukan menunda atau malah tidak menjalankan niatnya.

Makna kedua, niat adalah gerak hati  atau maksud hati untuk melakukan sesuatu pada saat hendak melaksanakan kehendak tersebut. Niat dalam pengertian ini juga lebih baik dari perbuatan itu sendiri karena memang ini fadl yang diberikan Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Namun, seseorang ketika berniat atau berazam untuk melakukan sesuatu, pasti tidak terlepas dari pada salah satu dari ketiga keadaan di bawah ini:

Keadaan pertama, bila ia berazam lalu ia berbuat. Keadaan kedua, bila ia berazam, tetapi tidak berbuat kendati ia memiliki kemampuan untuk itu. Kedua keadaan seperti ini telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dari Rasulullah Saw;

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

“Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan nilai segala perbuatan kebaikan maupun keburukan. Maka, barang siapa berniat melaksanakan suatu kebaikan lalu tidak melaksanakannya, niscaya Allah SWT akan mencatat pahala di sisi-Nya sebagai satu kebaikan sempurna. Dan bila seseorang berniat melakukan sesuatu kebaikan lalu ia melaksanakannya, niscaya Allah SWT akan mencatat pahala di sisi-Nya sebagai perbuatan sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus, bahkan berlipat-lipat ganda banyaknya. Dan bila seseorang berniat melakukan suatu kejahatan lalu ia tidak melaksanakannya, Allah SWT akan mencatat pahala di sisi-Nya  sebagai suatu kebaikan sempurna, dan bila ia berniat melakukan kejahatan kemudian ia melaksanakannya pula, maka Allah akan mencatatnya di sisi-Nya sebagai satu kejahatan.”

Hadis ini termaktub dalam dua kitab hadis shahih; Bukhari dan Muslim. Hadis ini termasuk kategori hadis qudsi. Di satu sisi, keterangan hadis ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW. Di sisi yang lain hadis ini bermakna bahwa ketika kita beramal apapun, harus dilandasi niat baru kemudian amal yang baik. Secara logika, ini objektif. Karena seorang muslim tidak hanya berorientasi balasan ganjaran di dunia tapi juga di akhirat. Islam memang sering menyisir semua aspek hidup sampai yang paling detail dan mendasar, seperti niat. Lalu, ia beramal. Dalam satu keterangan hadis lain, niat dan amal baik pun masih diseleksi oleh pengadilan akhirat; apakah layak diterima sebagai amal yang jernih ataukah masih ada kotoran yang menempel. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita kembalikan semua urusan kepada Allah.

Melanjutkan bahasan sebelumnya, keadaan ketiga adalah ia berazam untuk melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Misalnya ia berkata, “Seandainya aku mampu, pasti aku akan melakukannya.” Bagi orang seperti ini disediakan ganjaran seperti yang disediakan bagi si pelaku, baik dalam hal kebaikan ataupun kejahatan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw.;

النَّاسُ أَرْبَعَةٌ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ عِلْمًا وَمَالًا فَهُوَ يَعْمَلُ فِي مَالِهِ بِعِلْمِهِ فَيَقُوْلُ آخَرُ لَوْآتَانِيْ اللهُ مِثْلَ مَا آتَاهُ عَمِلْتُ مِثْلَ عَمَلِهِ فَهُمَا فِيْ الْأَجْرِ سَوَاءٌ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِجَهْلِهِ فَيَقُوْلُ آخَرُ لَوْآتَانِيْ اللهُ مِثْلَ مَا آتَاهُ عَمِلْتُ مِثْلَ عَمَلِهِ فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ

“Manusia terbagi menjadi empat. Seseorang dikaruniai ilmu dan harta oleh Allah lalu ia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya, maka seorang lainnya berkata, ‘Seandainya Allah SWT memberiku seperti yang diberikan kepada orang itu, niscaya aku pun berbuat seperti yang diperbuatnya’. Kedua orang tersebut sama-sama akan memperoleh pahala. Sebaliknya, seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah, tetapi tidak dikaruniai ilmu, lalu ia bertindak ceroboh dengan hartanya disebabkan kebodohannya, lalu seseorang lainnya berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta seperti dia niscaya aku pun akan berbuat seperti perbuatannya’. Kedua orang itu sama-sama berdosa.”

Sayyid Abdullah ibn Alawi ibn Muhammad al-Haddad, menyinggung dengan memberi hadis ini sebagai refleksi kita saat akan beramal. Seakan niat adalah perbuatan yang akan terlaksana, seperti hadis di atas. Melihat orang bersedekah, kita niat akan seperti itu, kita dapat pahala baik. Ini juga termasuk kemurahan Allah yang diberikan bagi orang yang mendukung adanya perbuatan baik orang lain. Sebaliknya, jika kita malah mendukung keburukan orang lain, maka dosanya juga akan menimpa kita. Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk istikamah dalam kebaikan.

Wallahu a’lam.


*disadur dari kitab risalah al-Mu’awanah