(sumber foto: http://www.nu.or.id)

Oleh: Lu’luatul Mabruroh*

Dalam menjalankan syari’at, umat Islam harus memiliki rujukan hukum yang bisa dijadikan pegangan untuk keabsahan ibadah yang dijalankan. Dengan kata lain bermadzhab adalah suatu keharusan bagi orang mukallaf agar memiliki pedoman dalam menjalani kewajiban beragama. Pola bermadzhab yang mayoritas dianut oleh umat Islam, khususnya oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah seringkali dianggap miring oleh beberapa kelompok ormas. Slogan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits menjadi pemicu statemen miring terhadap urgensi madzhab dalam Islam. Padahal, madzhab merupakan metode dan cara yang hasil telaah para mujtahid terdahulu yang merujuk dan sama sekali tidak menyalahi Al Quran dan Hadits.

Madzhab secara bahasa adalah jalan, sedangkan secara istiah adalah hukum-hukum detail (Furu’) yang dipegangi, diyakini, dan dipilih oleh seorang mujtahid. Dengan demikian madzhab adalah suatu ungkapan  tentang hasil telaah mendalam yang dilakukan oleh seorang ulama untuk mengetahui hukum ilahi dalam Al Quran, Al-Hadits, dan dalil-dalil lainnya.

Pada dasarnya Madzhab sudah muncul sejak zaman sahabat Rasul. Semisal madzhab Aisyah, Madzhab Abdullah bin Umar, Madzhab Abdullah bin Mas’ud, dan lain sebagainya. Kemudian pada masa Tabi’in melejitlah nama tujuh fuqaha’ Madinah (al-Fuqaha’ al-Madnah al-Sab’ah) diantaranya: Sa’id bin al-Musayyib, Urwah bin Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Yazid, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, Sulaiman bin Yasar, dan Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud.

Permulaan abad 2 H hingga pertengahan abad 4 H merupakan periode emas bagi ijtihad. Masa itu menorehkan catatan emas dengan adanya 13 Mujtahid besar. Mereka berhasil mendirikan madzhab secara mandiri dan pendapat-pendapat mereka diikuti oleh masyarakat. Dalam melakuakan ijtihad para mujtahid memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam penetapan nash maupun dalam memahami nash.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam menetapkan nash meliputi dua hal, yang pertama adalah sampai atau tidaknya nash kepada seorang mujtahid. Yang kedua valid atau tidaknya suatu nash, baik dari matan maupun sanadnya. Sedangkan dalam memahami nash juga meliputi dua hal, yang pertama adalah karakteristik bahasa arab dan penggunaan syari’ terhadap redaksi-redaksi yang bersifat universal –elastis dan tidak pasti dalam mayoritas nash-nash. Yang kedua adalah metode pengkajian yang digunakan oleh Ushuliyyin dan fuqaha pada nash-nash dari segi pemahaman dan persepsi terhadap dimensi dan tujuan nash-nash, kemudian istinbath hukum dari nash-nash, disamping perbedaan kapasitas dan kapabilitas individual mereka yang secara otomatis akan melahirkan perbadaan pendapat dan konklusi hukum.

*Mahasiswa PBA Unhasy dan Santri Walisongo Jombang.