ilustrasi

Ada hadis populer terkait niat yang tidak semua kalangan memahaminya dengan baik. Hadis tersebut sebagaimana di bawah ini:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيَّاتِ وَإنَّمَا لِكُلِّ آمْرِئٍ مَا نَوَي فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَن كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ أمْرَأة يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Hadis ini berbicara seputar fungsi niat sebagai timbangan suatu amal. Maksudnya, ketika niat yang dimiliki seseorang itu baik dan positif, maka status amal yang dilakukan sudah barang tentu baik lagi positif juga.

Penjelasan di atas disinggung melalui teks hadis:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيَّاتِ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat.”

Perlu diketahui, maksud dari “amal perbuatan” di atas ialah amal-amal yang bersifat syariat, yang ada kaitannya dengan syariat. Jadi, amal-amal tersebut bisa dianggap sebagai amal syariat, ketika dibarengi dengan niat. Misalnya, shalat, zakat dan lain sebagainya.

Melalui cuplikan hadis di atas, ada perbedaan ulama perihal pembuangan “kata yang dikira-kirakan”. Sebagian ulama mengatakan, “kata yang dikira-kirakan” adalah “sah”, yang lain mengatakan, “sempurna.”

Mengikuti pendapat pertama, maka pengira-ngiraan teks hadis adalah, “Sesungguhnya sahnya amal-amal itu tergantung dengan niat.” Sedang pendapat kedua, “Sesungguhnya sempurnanya amal-amal itu tergantung dengan niat.”

Kemudian dilanjutkan dengan teks hadis:

وَإنَّمَا لِكُلِّ آمْرِئٍ مَا نَوَي

Setiap orang akan mendapat sesuai dengan apa yang ia niati.”

Memberikan indikasi bahwa ibadah, tidak bisa digantikan oleh orang lain. Harus dikerjakan oleh pelakunya sendiri. Kalau mau mendapat pahala ibadah, harus mau melakukannya sendiri, tidak bisa digantikan orang lain.

Kita juga bisa memahami bahwa menentukan sesuatu yang diniati merupakan syarat bagi suatu pekerjaan. Misalnya, seseorang memiliki tanggungan shalat Zuhur, maka ia tidak cukup ketika shalat hanya berniat, “Saya niat shalat yang tertinggal.” Namun, ia harus berniat, “Saya niat shalat Zuhur yang tertinggal.”

Selanjutnya, apa yang diniati seseorang, maka itu yang akan dia dapat. Analoginya, kita datang ke sekolah dengan niatan belajar, maka kita akan mendapat ilmu. Sedang ketika dengan niatan sekedar hura-hura saja, atau ingin menghabiskan uang jajan, sudah jelas kita akan mendapatkan keduanya, bukan yang lain.

Kemudian dilanjutkan dengan teks hadis:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Maka, siapapun yang menyengaja berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka secara pahala, status hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Dahulu, Nabi Muhammad dan para sahabat biasa melakukan hijrah ke luar kota Mekah. Dari situ, beliau memberi peringatan kepada para sahabat, siapapun dia yang berhijrah karena Allah dan Nabi-Nya, bukan karena faktor lain, maka dia akan mendapat pahala yang sangat besar.

Kemudian dilanjutkan dengan teks hadis:

وَمَن كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ أمْرَأة يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Siapapun dia yang berhijrah karena dunia, supaya bisa mendapatkannya, atau demi perempuan, supaya bisa menikahinya, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niati untuk berhijrah.”

Ketika seseorang berhijrah atas dasar selain Allah dan Nabi-Nya, maka dia akan mendapat apa yang dia niati. Intinya, apa yang didapatkan oleh seseorang, tergantung dengan niatnya.


Refrensi: Kitab Arbain Nawawiyah karangan Imam an-Nawawi ad-Dimasqi


Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo