ilustrasi halal dan haram bercampur
ilustrasi halal dan haram bercampur

Oleh: Achmad Bissri Fanani*

Syariat Islam memiliki sebuah konsep bahwa yang haram harus ditinggalkan dan yang halal boleh dilakukan. Maka, fokus seorang muslim dalam beragama ialah mengetahui mana yang halal dan yang haram. Namun hal tersebut sulit dilampaui, apalagi ketika perkara haram bercampur dengan perkara yang halal sampai keduanya tidak bisa dibedakan. Misalnya, uang curian yang bercampur dengan uang halal dengan keadaan bentuk uang tersebut sama. Maka dari itu, para ulama menyimpulkan sebuah kaidah untuk solusi masalah tersebut sebagai berikut:

إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام

Ketika perkara halal dan haram berkumpul maka perkara haram yang dimenangkan

Makna Kaidah dan Penerapannya

Kaidah ini menunjukan ketika perkara haram bercampur dengan perkara yang halal sampai keduanya tidak bisa dibedakan maka yang dimenangkan adalah hukum haram, baik halal dalam artian mubah atau wajib. Menurut para ulama hal itu sebagai antisipasi untuk menghindari keharaman (ikhtiyath). Bisa dikatakan lebih baik menghindar daripada terjerumus dalam keharaman.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kaidah ini juga berhubungan dengan kaidah lain yakni “dar’ul mafasid awla min jalbil mashalih” (mencegah kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan). Berhubung perkara haram termasuk kerusakan (mafasid), maka lebih diunggulkan daripada perkara halal (ketika keuduanya bercampur) untuk menghindari kerusakan.

Misal, seseorang mencuri uang sebesar seratus ribu rupiah. Kemudian dicampur dengan uang lainnya yang ia peroleh dengan cara halal sejumlah dua ratus ribu rupiah. Setelah dicampur ternyata ia tidak bisa membedakan antara keduanya, maka haram baginya untuk menggunakan semua uang tersebut.

Namun, dalam kalangan mazhab Imam Syafi’i yang dimaksud halal dalam kaidah tersebut adalah mubah. Alhasil, ketika yang bercampur dengan perkara haram adalah halal dalam artian wajib, maka perkara halal yang dimenangkan. Misal, orang yang sekarat karena kelaparan dan tidak ada makanan lagi selain bangkai boleh memakannya meskipun hukum asalnya adalah haram karena lebih utama menjaga kehidupan yang hukumnya wajib. [Al-Hamwi, Ahmad bin Muhamad, Ghamazu ‘Uyunil Bashair fi Sarhil Asybah wan Nadhair (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah: 1985) juz. 1 hal. 335]

Kaidah di atas berlandasan sabda Nabi Muhammad saw.:

ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال

Tidaklah perkara haram berkumpul dengan perkara haram kecuali perkara haram mengalahkan perkara halal”

Imam Subki dalam kitab Asybah wan Nadhair-nya menukil pendapat Imam Baihaqi yang mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Jabir Al-Ju’fi dari Asya’bi dari Ibnu Mas’ud. Hadis tersebut juga dinilai dha’if karena cacat dalam rawi dan sanadnya. Meski demikian Ibnu Subki mengatakan kaidah ini tetap sah walaupun tanpa landasan hadis yang shahih sehingga masih tetap bisa dipakai. [As-syuyuti Abdurrahman jalaluddin, Asybah wan Nadzair (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah: 1983) juz. 1 hal. 105]

Pengecualian Kaidah

Ada beberapa kasus bercapurnya perkara halal dan haram yang tidak bisa dipecahkan menggunakan kaidah ini. Berikut beberapa contoh kasus:

  1. Permasalahan pakaian bahannya terbuat dari sutra. Jika porsi sutra dalam baju tersebut lebih sedikit maka hukumnya halal. Sama halnya dengan masalah mushaf yang dilengkapi tafsir ayat, jika tafsir lebih banyak ataupun porsi tafsir sama dengan Al-Quran maka menyentuhnya tidak masalah bagi orang yang berhadas.
  2. Jika ada pengembala kambing mengembalakan kambingnya dengan perkara yang haram, maka hukum susu dan daginya masih halal.
  3. Jika mayat orang mati syahid dengan mayat yang tidak mati syahid berada di tempat yang sama sehingga tidak bisa dibedakan antara keduanya, maka hukumnya wajib memandikan kedua mayat tersebut.
  4. Bagi perempuan wajib berpindah dari daerah kafir harbi meskipun sendirian. [As-syuyuti Abdurrahman Jalaluddin, Asybah wan Nadzair (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah: 1983) 1 hal. 115

Kesimpulan

Jika ada perkara yang dihukumi halal dan haram berkumpul dalam satu kasus, maka kebanyakan dimenangkan perkara yang haram (dihukumi haram) dan terkadang  dimenangkan perkara yang halal (dihukumi halal). Dalam kalangan Mazhab Imam Syafi’i, hal tersebut tergantung dengan perkara halal. Apakah bermakna wajib, sunnah, atau mubah. Halal yang bermakna wajib akan selalu dimenagkan ketika bercampur dengan perkara haram, berbeda dengan halal dalam artian sunah dan mubah yang akan dikesampingkan tatkala bercampur dengan perkara haram.

Baca Juga: Memahami Pengecualian dalam Kaidah Fikih

*Mahasantri Ma’had Aly Annur II.