Oleh: Fathur Rohman*
Beberapa hari ini berseliweran artikel/berita tentang sejarah pelengseran Gus Dur sebagai presiden RI kala itu, dalam artikel itu menyebutkan nama-nama tokoh yang terlibat, sontak memori saya tertuju pada tahun pelengseran Gus Dur sebagai presiden. Saya masih ingat kala itu seakan teman-teman di partai PKB dan orang-orang NU yang mencintai Gus Dur seperti berjuang sendirian, walaupun di akar rumput jumlahnya sangat banyak secara kuantitas, namun di tingkat parlemen dan jumlah partai politik seperti hanya sendirian karena saat itu seingat saya hanya partai PKB yang membela Gus Dur.
Banyak orang di akar rumput mau membela Gus Dur karena melihat berita di TV yang seperti sedang dikeroyok ramai-ramai oleh banyak partai, organisasi, dan tokoh masyarakat, yang lebih menjengkelkan adalah orang-orang itu adalah mereka yang mendukung Gus Dur menjadi presiden RI. Namun bukan Gus Dur namanya bila lebih mencintai jabatan dari pada keutuhan bangsa Indonesia sehingga ia dengan jiwa besarnya melarang rakyatnya untuk membelanya dan mengikhlaskan meninggalkan jabatan presidennya, karena beliau tidak mau terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa.
Beliau tahu betul bagaimana militansi santri-santri dan orang-orang NU bila beliau menyeru untuk berjuang, karena sejarah telah membuktikan tentang militansi dan kehebatan orang-orang NU seperti saat peristiwa resolusi jihad, peristiwa PKI, peristiwa operasi naga hijau, dan lain-lain sehingga beliau memilih untuk melarang rakyatnya seraya berkata “tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”, betapa terenyuhnya para pendukung beliau seantero Nusantara mengetahui perkataan beliau melalui media masa sehingga mereka semua mengurungkan niatnya untuk berbondong-bondong ke Jakarta dan berdemo di berbagai daerah padahal mereka sudah siap siaga dan hanya tinggal menunggu fatwa.
Saat itu pun saya semakin mengagumi Gus Dur dan mendapatkan pelajaran yang luar biasa tentang bagaimana pentingnya sebuah perjuangan membela kebenaran yang diyakini tidak perduli siapa musuhnya walaupun secara kalkulasi politik hasilnya bisa ditebak akan kalah, namun kewajiban itu harus tetap dijalankan yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh.
Pada masa kepemimpinannya yang singkat tidak ada disintegrasi bangsa, tidak ada sejengkal tanah ibu pertiwi lepas dari peta wilayah NKRI, tidak ada aset negara yang lepas ke tangan asing, memangkas urusan birokrasi sampai membuat susunan menteri-menteri yang membantu beliau dengan sangat ramping, memberi kebebasan untuk media masa, banyak rakyat yang merasakan kehadiran beliau yang mengayomi karena beliau punya jadwal kunjungan rutin ke beberapa rakyatnya seperti ke umat Islam di waktu salat Jumat dengan setelahnya ada dialog langsung dengan beliau sehingga terkesan bahwa pemimpin yang mendatangi rakyatnya untuk mendengarkan keluh kesahnya secara langsung, untuk yang beragama lain (non Islam) juga ada jadwal kegiatan tersendiri.
Pernah satu ketika seingat saya melihat berita di TV banyak ibu-ibu mengumpulkan perhiasannya atau hartanya untuk disumbangkan ke negara agar bisa membantu pemulihan kerisis ekonomi yang saat itu dolar mulai merangkak naik, luar biasa kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya kala itu. Sebenarnya masih banyak lagi kisah tentang beliau di memori saya ketika beliau menjadi presiden RI saat itu.
Saat beliau menjadi presiden saya bersyukur negeri ini memiliki pemimpin muslim yang ta’at, pandai ilmu agama Islam, baik Al Qur’an, Hadits, fiqih atau yang lainnya, pandai ilmu sastra dan ilmu sosial politik, serta ilmu-ilmu lainnya.
Saya ternyata salah saat itu banyak tokoh, baik politik atau yang lainnya yang tidak menginginkan pemimpin yang memiliki kecakapan seperti itu terus mempimpin negeri ini, terbukti bagaimana peristiwa pelengseran beliau yang ditanyangkan di TV seperti dikeroyok rame-rame oleh banyak pihak sehingga beliau harus tersingkir dari istana negara sebagai presiden RI kala itu.
Ketika muncul banyak artikel atau berita yang membahas tentang proses pelengseran Gus Dur dengan menyebutkan nama-nama tokoh yang terlibat, para pecinta Gus Dur mungkin kembali akan merasakan kemarahannya lagi, namun yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa beliau saja memaafkannya, maka kita juga tidak boleh memiliki dendam sejarah walaupun kita semua tidak boleh lupa akan peristiwa itu agar kita bisa belajar dan tetap hati-hati agar tidak terjerumus dalam peristiwa seperti itu lagi.
Banyak orang yang menyangka bahwa kesalahan Gus Dur saat itu adalah karena tidak memiliki modal kekuatan politik yang cukup sehingga kalah di parlemen, bagi para ahli politik mungkin hal itu benar begitu, namun bagi para santri yang mendapatkan didikan keras di pesantren tentang perjuangan menegakkan kebenaran di mana pun berada bukanlah sebuah kesalahan, kekurangan, atau kekalahan, namun sebuah bentuk ikhtiyar perjuangan untuk menegakkan kebenaran walaupun harus tersingkir dari arena percaturan politik. Hal itu bukanlah sesuatu yang patut disesali oleh siapa saja yang mencintai Gus Dur, karena itu adalah jalan perjuangan yang harus dilewati oleh bangsa ini sehingga bangsa ini bisa bertahan sampai saat ini dan sampai kapan pun.
Gus Dur mengajarkan tetang pentingnya sebuah perjuangan dan tidak gentar melawan banyak kelompok, selama yang diperjuangkan itu adalah sebuah kebenaran yang bisa membawa kemaslahatan umat manusia. Lebih baik berjuang dari pada harus ikut bersama-sama menjalankan sesuatu yang beliau yakini tidak benar, bagi beliau lebih baik menunjukkan perlawanan dari pada harus pasrah dan mengalah, walaupun hasilnya menurut kalkulasi politik kalah, karena menurut keyakinan beliau yang diperintahkan adalah berjuang bersungguh-sungguh bukan seberapa keuntungan yang bisa didapatkan bila tetap menerima kompromi bersama-sama kelompok-kelompok yang tidak menginginkan beliau terus menjadi presiden RI saat itu.
Sebuah pelajaran yang sangat besar kepada bangsa ini bahwa menjadi pemimpin itu mendapatkan banyak tantangan dan mungkin juga tekanan dari sana sini, namun seorang pemimpin harus tetap berpegang teguh kepada sumpah jabatannya dan tidak boleh memimpin di bawah tekanan dan kendali pihak manapun.
Allahu a’lam bis showab.
*Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Unhasy.