tebuireng.online– Kawah Condromuko, sebuah rumah pertapaan dan penempaan diri seorang Kiai, kini menjadi kenangan basah. Suara dehaman melalui mikrofon sekitar pukul 20.00 WIB itu tak terdengar lagi. Mengajar dengan sepak bola, tentu tak semua bisa melakukannya. Guyonan cerdas, namun berbobot itu juga masih menjadi kerinduan. KH. Ishak Latif, nama itu tercatat dalam buku memori siapapun yang pernah menjadi santri Tebuireng mulai tahun 1960-an hingga 2015, setelah Sang “Santri Sejati” itu dipanggil ke haribaan Ilahi pada 27 Februari 2015.
Gulungan memori-memori itulah yang coba diputarkan kembali oleh Penulis ternama dan politikus H. Cholidi Ibhar, Dosen UII Jogjakarta Dr. Muhammad Roy Purwanto dan Pengasuh Pesantren Putri al-Masruriyah Tebuireng Agus Muhammad Zakky Hadzik dalam acara Bedah Buku “Hidup untuk Pengabdian: in Memoriam KH. Ishak Latif”. Ketiganya adalah orang yang pernah menjadi santri dan kenal dekat dengan Yai Ka’.
Membuka memori lama tentang Yai Ka’ pasca wafatnya beliau, H. Cholidi Ibhar menulis status-status panjang di facebook mengenai kenangannya bersama beliau. Dari sekitar 100 status santai namun renyuh itu, atas prakarsa Direktur Lembaga Penerbitan Pesantren Tebuireng (LPPT) Ahmad Faozan melalui penerbit Pustaka Tebuireng ingin menerbitkannya dalam bentuk buku utuh, kumpulan catatan-catatan Yai Ka’ berjudul “Hidup untuk Pengabdian; In Memoriam KH. Ishak latif, Catatan-catatan Santrinya”.
Buku setebal 244 halaman, itu berisi pengalaman 6 tahun dari 10 tahun hidupnya di Tebuireng, dekat dengan Yai Ka’. H. Cholidi Ibhar masuk di Pesantren Tebuireng pada tahun 1970 dan keluar pada tahun 1980, tepat 10 tahun. Tiga tahunnya ia habiskan bersama sang guru sebagai sekretaris pribadi, yang menuliskan catatan-catatan beliau. Pengalaman yang tak bisa ia lupakan, adalah ketika bermain sepak bola bersama Yai Ka’ di lapangan Pabrik Gula Cukir seminggu dua kali. Saat itu, bermain sepak bola adalah syarat mendapatkan nilai yang bagus di kelas tauhid yang beliau asuh. Dalam kelas tersebut, sangat susah mendapatkan nilai A, bahkan B saja susah. Jama’ah sepak bola beliau yang khusuk dalam bermain lah yang pasti mendapatkan nilai bagus.
Pak Ibhar menyayangkan sikap santri sekarang yang semakin kurang percaya dengan barokah. Padahal kekuatan barokah itu bisa mengalahkan kekuatan apapun. Berkat berokah Yai Ka’ dan masyaikh Tebuireng-lah ia merasa kehidupannya terarahkan dengan baik. Inspirasi yang tertanam dalam jiwanya dibentuk karena kezuhudan, kesederhanaan, dan kedalaman ilmu Yai Ka’. Karena kezuhudan itu, Yai Ka’ tidak begitu suka perdebatan soal fikih, beliau lebih suka mengkaji akidah dan akhlak. Hal itulah, kenapa Yai Ka’ dalam setiap pengajiannya jarang membahas permasalahan furu’iyyah.
Tokoh kedua yang membeberkan memorinya tentang Yai Ka’ adalah Agus M. Zakky Hadzik. Adik Gus Ishomuddin Hadzik itu, mengaku terakhir bertemu beliau adalah ketika mengunjungi Yai Ka’ beberapa hari sebelum beliau meninggal. Beliau bercerita tentang beberapa hal yang sangat disayangkan oleh Yai Ka’. Pertama adalah jumlah santri yang mengaji bersama Yai Ka’ menurun drastis. Tahun 2013 jumlah santri Tebuireng baru 1700 orang. Dari jumlah tersebut yang mengikuti pengajian Yai Ka’ tidak sampai 10%, tidak sampai 170 orang. Padahal dulu, tahun 2003-an peserta pengajian ramadhan Yai Ka’ bisa mencapai 3000 orang, bersaing dengan jama’ah pengajian Gus Ishom. Keduanya disebut sebagai dua mercusuar yang dimiliki Tebuireng saat itu.
Kedua, adalah santri sekarang ketika diobrak untuk shalat seperti kucing-kucingan. “Diobrak dari utara lari keselatan, diobrak dari selatan lari ke utara, jadi seperti kucing-kucingan, yang mengobrak telat jama’ah, apalagi yang diobrak, kapan shalatnya?,” cerita beliau disambut tawa para hadirin. Ketika ditanya soal solusi kedua permasalahan itu, Yai Ka’ tidak mau menjawab, karena merasa tak pantas. Itulah sikap ketawadhu’an beliau, yang menjadikan Kiai Ishak adalah manusia yang Limeted Edition Person, susah menemukan yang serupa di dunia ini.
Totalitas beliau dalam mengabdi, menurut Gus Zakky, adalah yang patut diacungi jempol. Selama 44 tahun sejak tahun 70-an hingga 2015 Yai Ka’ mengabdikan dirinya untuk Tebuireng. Itulah kenapa, Gus Zakky memposisikan diri sebagai pihak yang mendukung penuh jenazah Yai Ka’ layak dikebumikan di Tebuireng. Pernah terbersit dalam pikiran Gus Zakky dan teman-teman ketika usia Yai Ka’ belum genap 60, untuk mencarikan istri. Namun niat itu diurungkan karena jawabannya sudah pasti, Yai Ka’ lebih memilih ilmu, seperti tekat awal.
Pernah suatu saat, ketika Gus Zakky menjadi lurah pondok, jama’ah Yai Ka’ membuat gempar para pengurus. Pasalnya, waktu belajar malam belum selesai, mereka sudah menyalahkan mikrofon untuk cek sound. Hal ini menimbulkan kegundahan di kalangan para pengurus, tidak ada yang berani satupun untuk menghadap beliau bernegosiasi. Namun Gus Zakky, lurah saat itu, memberanikan diri untuk bernegosiasi dengan Yai Ka’. Tidak mudah memang merayu Yai Ka’, dengan segala kharismanya, harus menggunakan metode jitu dan disukai beliau. Akhirnya jurus kopi rokok dan obrolan bola berhasil membuat Yai Ka’ luluh dan menunda cek sound para jama’ahnya dari biasanya, walau hanya lima menit saja
Dr. Roy Muhammad lebih menitik beratkan bahasan mengenai Yai Ka’ dalam segi ketasawufan beliau. Menurut alumni Pesantren Tebuireng tahun 1993-1996 tersebut, beliau adalah inspiring person. Bahkan saking terinspirasinya, pernah ia membuat tekat bersama seorang sahabatnya, untuk meniru ke-uzzaf-an (kejombloan karena ilmu) Yai Ka’. Kejombloan yang dimaksud adalah benar-benar menggunakan waktu seumur hidup hanya untuk ilmu sehingga tak sempat memikirkan kehidupan rumah tangga.
Memang banyak ulama yang produktif dalam berkarya seumur hidupnya menjomblo, katakan saja seperti Muhyidin al-Nawawi, al-Thobari, Ibn Taimiyah, dan al-Zamakhsyari. Namun, ia tergugah ingin menikah, dan mematahkan tekat untuk menjadi uzzaf seperi Yai Ka’, ketika ia mengenal seorang santriwati al-Masruriyah, namun ditolak. Hal itu tidak diikuti oleh sahabatnya, dia tetap pada garis inspirasi awal, bergelut pada keilmuan dan tidak menikah. Hal lain yang menjadi inspirasi dari seorang Yai Ka’ adalah ghirah dalam muthola’ah kitab. Setelah mengajar ba’da isya’ beliau tidak tidur hingga menjelang shubuh untuk mentelaah kitab. Ketekunan ini dikatakan oleh Dr. Roy sebagai usaha pencarian ilmu bil kasbi dengan usaha yang tekun.
Ada jalan lain yang ditempuh Yai Ka’ untuk mendapatkan ilmu selain dengan usaha secara fisik, yaitu bil kasfi, mendekatkan diri kepada Allah dengan riyadha (penempaan diri) dan tirakat. Atau menggunakan metode bil hikmah, berhikmah kepada kiai, berhikmah kepada ulama, yaitu dengan mengabdiakan diri, mengambil segala bentuk pelajaran dari semua yang terjadi. Ketiga metode itu, dilalap habis, dilakukan secara total oleh Kiai Ishak latif.
Dari menjadi santri, hingga sekarang doktor, Dr. Roy tak pernah bergeser dari penyematan gelar “ispirator utama” dalam hidupnya kepada Yai Ka’. Hingga nama “KH. Ishak latif tertera dalam skripsinya sebagai guru inspirator utama. Hal yang selalu diingat Dr. Roy adalah pesan mengenai barokah yang disampaikan Yai Ka’. Beliau sering menasehati para santri agar tak lupa setiap hari mengunjungi makam untuk bertawasul kepada para kiai, terutama kepada Hadratusyakh KH. Hasyim Asy’ari.
Banyak santri yang masuk Tebuireng era 90-an hingga sekarang, tak lama kemudian boyong hanya karena membandingkan Tebuireng saat ini dengan era sebelumnya. Padahal, Yai Ka’ selalu berpesan bahwa kekuatan dalam pesantren yang paling mempengaruhi adalah ketawadhuan terhadap kiai dan kepercayaan terhadap keberkahan pesantren dan segala isinya. Pesan Yai Ka’ itu harusnya mendobrak pemikiran serampangan santri-santri sekarang yang sudah melunturkan kepercayaan tentang barokah dan terkoyak-koyaknya moral dan akhlak, terutama berkaitan dengan ketawadluan kepada para kiai dan guru.
Yai Ka’ memberikan pelajaran kepada para santri dan elemen pesantren bahwa hidup adalah pengabdian, bukan sekedar mencari pengakuan. Menjadi santri sudah pasti mencemplungkan diri ke dalam kawah keilmuan dan keberkahan. Semakin dalam menyelam pastilah mutiara yang didapat semakin bagus. Semakin banyak menegak ilmu hingga mendalam, pastilah mabuk kepalangan olehnya. Bukan soal tidak menikahnya, yang menjadi titik berat, tapi soal bagaimana Yai Ka’ mencintai ilmu dan mengabdikan dirinya untuk ilmu lebih dari separuh hidupnya. (abror)