ilustrasi mapan dulu atau nikah dulu
ilustrasi mapan dulu atau nikah dulu

Dewasa ini, kita kerap dihebohkan dengan berita mengenai pernikahan. Bagaimana tidak, kebanyakan pasangan menikah di usia yang relatif masih muda. Mengutip dari laman Indonesiabaik.id, persentase usia pernikahan tertinggi bagi laki-laki adalah 35,21% di usia 22-24 tahun. Sedangkan perempuan 37,27% di usia 19-21 tahun.

Jika kita pikir secara rasional, apakah di usia tersebut kita sudah bisa memiliki finansial yang matang? Bukankah ketika kita menikah dalam kondisi finansial yang belum matang akan menjadi beban hidup kita lebih berat? Inilah salah satu faktor yang menyebabkan pertanyaan “nikah dulu atau mapan dulu?” sering terlintas di benak muda-mudi Indonesia.

Secara tidak langsung, kita telah menambah beban yang besar dalam hidup dengan melakukan pernikahan. Jika diimajinasikan, setelah ijab qobul seketika ada bayangan hitam besar yang menimpa mempelai pria. Ya, bayangan itu ialah perumpamaan istri yang sudah menjadi tanggung jawab sepenuhnya. Belum lagi bayangan itu bisa menjadi lebih besar dengan adanya buah hati di kemudian hari.

Meski sudah banyak omongan “menikah itu cuma enak awal-awalnya saja”, banyak pemuda-pemudi yang tidak memedulikan hal ini dan tetap kekeh untuk menikah meski finansial belum siap.

Mapan Atau Nikah Dulu? dalam Prespektif Islam

Islam terkenal dengan ajaran yang detail. Semua kegiatan mulai bangun hingga tidur telah diatur. Pernikahan pun tak luput dari aturan syariat. Dalam kitab Fathul Mu’in, Imam Zainudin Al-Malibari menjelaskan macam-macam hukum menikah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

(سُنَّ) أَيْ النِّكَاحُ (لِتَائِقٍ) أَيْ مُحْتَاجٍ لِلْوَطْئِ – وَإِنْ اِشْتَغَلَ بِالعِبَادَةِ – (قَادِرٍ) عَلَى مُؤْنَةٍ – مِنْ مَهْرٍ، وَكِسْوَةِ فَصْلِ تَمْكِيْنٍ، وَنَفَقَةِ يَوْمِهِ – لِلْأَخْبَارِ الثَّابِتَةِ فِيْ السُّنَنِ – وَقَدْ أَوْرَدْتُ جُمْلَةً مِنْهَا فِيْ كِتَابِيْ (إِحْكَامُ أَحْكَامِ النِّكَاحِ) – وَلِمَا فِيْهِ مِنْ حِفْظِ الدِّيْنِ وَبَقَاءِ النَّسْلِ. وَأَمَّا التَّائِقُ العَاجِزُ عَنِ المُؤَنِ فَالأُوْلَى لَهُ تَرْكُهُ وَكَسْرُ حَاجَتِهِ بِالصَّوْمِ – لَا بِالدَّوَاءِ – وَكُرِهَ لِعَاجِزٍ عَنِ المُؤَنِ غَيْرِ تَائِقٍ. وَيَجِبُ بِالنَّذْرِ، حَيْثُ نُدِبَ.

Artinya: “Menikah hukumnya sunah bagi orang yang tidak bisa menahan nafsu dan mampu memenuhi kebutuhan istri seperti mahar, pakaian sesuai musim, nafkah harian baik dia sibuk melakukan ibadah atau tidak. Ini berdasarkan hadis-hadis yang tertera dalam kitab dan menikah termasuk cara menjaga agama dan keturunan. Beberapa dalil telah saya (Zainuddin Al-Malibari) jelaskan dalam kitab Ihkamu Ahkamin Nikah karangan saya.

Adapun orang yang memiliki syahwat bergejolak namun tidak memiliki finansial yang matang, maka lebih baik meredakan syahwatnya dengan berpuasa bukan dengan obat. Dan menikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak terlalu butuh dan tidak memiliki finansial yang matang. Jika dia bernazar untuk menikah dan sudah berada dalam kondisi disunahkan baginya untuk menikah, maka hukumnya menjadi wajib

Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa syariat lebih memilih mapan daripada nikah. Ini terbukti ketika kita dalam kondisi finansial yang belum matang dan ingin menikah, maka kita lebih baik untuk mengalihkannya dengan berpuasa. Jika bersikukuh, hukum nikah yang kita lakukan adalah khilaful awla. Berbeda ketika kita sudah memiliki finansial yang bagus, hukum menikah menjadi sunnah.

Harus Mapan Sebelum Nikah!

Kubu yang mengatakan “nikah dulu” memiliki beberapa pembelaan. Pertama, mereka berkata “rezeki sudah  diatur Tuhan”. Hal ini tidak salah, namun kurang pas jika digunakan dalih dalam permasalahan ini. Meskipun rezeki telah diatur oleh Allah, apakah keinginan mapan terlebih dahulu menjadi salah? Bukankah kita tetap diperintah berusaha dalam memperoleh rezeki? Tidakkah ideologi mapan dulu selaras dengan perintah Allah? Mari renungi kembali!

Kedua, mereka berargumen “banyak orang memiliki finansial secara matang namun usia rumah tangganya tidak berlangsung lama”. Kita bisa mengatakan di sini terjadi logika fallacy (kesalahan berpikir). Mengapa demikian? Jika kita berpikir dengan benar, kita bisa melemahkan argumen mereka dengan menjawab “Orang yang finansialnya sudah matang saja mudah terjadi perceraian apalagi yang finansialnya tidak matang”.

Lagi-lagi argumen ini tidak tepat. Karena yang kita bicarakan sekarang mengenai kesiapan laki-laki dalam memenuhi tanggung jawab. Bukan panjang tidaknya usia pernikahan. Jika kita mau membahas usia pernikahan, maka mentallah jawabannya. Pasangan mampu memiliki usia pernikahan yang panjang karena mereka menikah dalam kondisi mental yang matang.

Baca Juga: 4 Hal yang Perlu Kamu Persiapkan Sebelum Menikah


*Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II “Al-Murtadlo” Malang.