Oleh: Prof. H. Masykuri Abdillah*
Ahlus sunnah wal jamaah atau yang biasa disebut sebagai Aswaja punya berbagai macam definisi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan madzhab teologi yang dianut para ulama. KH Hasyim Asy’ari memilih mendefinisikan Aswaja pada pengertian madzhab yang aqidah teologi mengikuti Imam al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi, untuk madzhab tasawufnya mengikuti Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Imam Ghazali.
Sedangkan untuk madzhab fikih mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali, dan definisi inilah pada zaman sekarang yang mayoritas diikuti para ulama dunia kecuali para ulama Saudi yang menganggap bahwa Imam al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi keduanya adalah syirik.
Kedua definisi ini pernah menjadi perdebatan setelah definisi aswaja menurut KH Hasyim Asy’ari dipopulerkan kembali pada tahun 2017, ulama Saudi meminta klarifikasi kepada syekh Ahmad Tayyib yang hadir pada acara itu, kemudian syekh Ahmad Tayyib mengatakan bahwa memang definisi aswaja yang dianut KH Hasyim Asy’ari dan mayoritas ulama lainnya lah yang berlaku di Al-Azhar saat ini.
Banyak juga sebuah istilah yang didefinisikan oleh KH Hasyim Asy’ari tetapi juga ada ulama yang tidak sependapat dengan beliau ataupun pengertiannya berbeda dengan sendirinya dikarenakan sudah berubahnya zaman, seperti kata salafiyun yang pernah disinggung KH Hasyim Asy’ari dalam salah satu kitabnya, beliau mendefinisikan salafiyun sebagai orang-orang yang mengikuti salafus salih.
Kemudian ada pula yang mendefinisikan salafiyun dengan arti mereka yang mengikuti pembaharuan oleh Ibnu Taimiyah yang diikuti Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Lalu ada juga kata ibahiyun yang didefinisikan KH Hasyim Asy’ari sebagai kelompok yang menghalalkan segala sesuatu tanpa dasar hukum pasti kemudian pada zaman sekarang sudah berubah definisi dari ibahiyun tersebut yang memiliki arti semacam kebebasan dalam lingkup pornografi.
Pemahaman yang dianut oleh KH. Hasyim Asy’ari dan mayoritas ulama lainnya adalah pendapat yang wasatiyah, dan zaman sekarang perlu untuk memahami teks secara kontekstual yang sesuai dengan zaman sekarang, karena akan sangat berbahaya jika teks hanya dipahami secara harfiahnya saja.
*Tulisan ini merupakan hasil transkip dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di Pesantren Tebuireng, Ahad 5 Juni 2022. (Pentranskip: Noerdiansyah Fikri).